Maulid Nabi; Titik Tolak Peradaban Baru Dunia
Jauh dari sebelum Rasulullah SAW dilahirkan, semenanjung Arab diselimuti kekelaman yang biasa disebut dengan jahiliah, zaman dimana keserakahan dan kepongahan seakan telah membunuh sifat kemanusiaan. Kekuasaan dan kekayaan dimonopoli sedemikian rupa oleh sebagian orang dan golongan, yang membuat kesenjangan antara si miskin dan si kaya semakin dalam. Keadilan hanya milik mereka yang beruang dan berkedudukan dan tak jarang rakyat kecillah yang selalu menjadi korbannya. Status seseorang setiap saat bisa berubah menjadi budak hanya karena hutang yang tidak seberapa. Wanita diperlakukan layaknya barang, bahkan seorang ayah tega mengubur hidup-hidup anaknya yang baru saja dilahirkan hanya karena ia terlahir perempuan.
Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, Islam datang membawa angin segar perubahan, menawarkan harapan bagi mereka yang selama ini merasa terzalimi, merombak tatanan kelam yang menyengsarakan. Meski demikian, hal ini tidak serta merta disambut gembira oleh semua golongan, ada saja penolakan dari mereka yang sumber penghasilan dan kekuasaannya merasa terancam. Bahkan orang yang sebelumnya menjuluki Nabi Muhammad SAW dengan gelar Al-Amin, menjadi orang pertama yang mendustakan. Paman yang sebelumnya berbahagia atas kelahirannya, bepaling menjadi orang yang memusuhi. Kendati demikian, reformasi harus tetap digulirkan.
Tranformasi besar-besaran yang dilakukan Nabi SAW menyentuh semua lini kehidupan, tidak hanya menyentuh permasalahan sosial, namun juga masuk ke ranah individual. Karena perubahan besar tidak akan tercapai tanpa didukung sumber daya manusia yang mumpuni. Generasi yang terus berlomba untuk menjadi yang terbaik, menjadi memotivasi tersendiri untuk selalu melakukan introspeksi dan improvisasi sehingga tumbuh menjadi generasi-generasi unggul. Terciptanya sistem yang tertata yang selanjutnya dielaborasi oleh individu-individu unggul, dalam waktu singkat dapat menghantarkan Islam menuju kejayaan, mengentaskan bangsa Arab dari cengkraman jahiliah.
Diawali dengan pembenahan pada tatanan akidah, Islam datang mengenalkan kembali konsep keesaan tuhan, bahwa “tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, agama yang dahulunya dianut oleh nenek moyang bangsa Arab. Megingatkan kembali bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah, Dzat yang menghidupkan dan mematikan dan Dialah Dzat yang bertanggung jawab atas rezeki seluruh makhluk-Nya. Manusia semua sama di hadapan Allah SWT, bukan harta dan kasta yang menjadi barometernya, namun iman yang ada di dalam dada. Perempuan yang sebelumnya dianggap sebagai nasib sial, perlahan mulai terangkat derajatnya.
Jauh sebelum masyarakat modern mengenal istilah emansipasi wanita, sudah sejak lama Islam telah menghormati dan menghargai harkat martabat wanita yang tentunya masing-masing antara laki-laki dan perempuan memiliki kekurangan dan kelebihan yang saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Al-Quran juga mengabadikan perempuan menjadi nama suratnya; An-Nisa dan Maryam. Bahkan dalam situasi tertentu, posisi perempuan lebih unggul daripada laki-laki;
Diriwayatkan dari Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Ra. berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.” (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Pembenahan terus bergulir hingga menyentuh perekonomian umat. Dimulai dari diharamkannya perjudian, penimpuan serta praktik riba yang sangat merugikan dan memberatkan, yang kemudian berlanjut dengan pengenalan sistem baru berupa zakat dan sedekah agar kekayaan terdistribusi secara merata dan tidak lagi dimonopoli oleh sebagian orang saja. Ditambah dengan adanya imbalan pahala bagi mereka yang selalu berderma, membuat masyarakat yang sebelumnya berlomba-lomba menumpuk harta, perlahan berubah menjadi masyarakat yang berlomba-lomba meyumbangkan harta guna mencari rida Tuhannya.
Perlakuan diskriminasi yang sebelumnya selalu dirasakan kaum lemah pun tidak luput dari jamahan perubahan. Keadilan yang selama ini dieksploitasi oleh para bangsawan mendapan kecaman keras dari Islam, karena kezaliman adalah tindakan yang sangan tercela dan keadilan harus ditegakkan terhadap semua golongan, tanpa terkecuali, bahkan terhadap musuh sekali pun guna terciptanya tatanan masyarakat yang sehat. Terbukti ketika Usamah bin Zaid mengadukan kepada Rasululah perihal seorang wanita dari Bani Makhzum yang mencuri, dengan tegas Rasulullah bersabda:
“Apakah kamu meminta keringanan atas pelanggaran terhadap aturan Allah?” Kemudian beliau berdiri menyampaikan khuthbah lalu bersabda: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadi binasa dikarenakan apabila ada orang dari kalangan terhormat mereka mencuri, mereka membiarkannya dan apabila ada orang dari kalangan rendah mereka mencuri, mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya. Demi Allah, kalau saja Fatimah binti Muhamamd mencuri, pasti aku potong tangannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Aura tranformasi yang terjadi di semenanjung Arab, terus merambah ke seluruh penjuru bumi yang merindukan rasa keadilan. Sebuah peradaban baru yang nantinya menjadi role model dari tatanan Negara modern. Namun, tatanan tetaplah tatanan. Di tengah terpaan hedonisme, materialisme dan konsumerisme modern saat ini, perubahan yang dulu diperjuangkan oleh Rasulullah SAW kini terasa sedikit memudar. Sikap yang mengajak pengikutnya untuk selalu berbuat baik kepada sesama, sedikit demi sedikit mulai terkikis. Manusia seakan lupa dengan tujuan hidup mereka, menjadikan harta sebagai tolak ukur kebahagiaan dan kesuksesan, sehingga terkadang kita saksikan mereka yang berusaha mati-matian dengan mengorbankan moral dan norma-norma agama hanya untuk menggapai apa yang dia inginkan. Lupa bahwa kehidupan ini hanyalah sementara.
Terkadang juga kita temui bahwa pengaplikasian nilai-nilai islami di Negara yang notabenenya non muslim justru sedikit lebih terasa dibanding Negara yang didominasi oleh umat Islam itu sendiri. Perlakuan sarkasme dan rasisme semakin lebih sering kita saksikan dan lagi-lagi kaum lemahlah yang menjadi korban kerakusan. Kebobrokan moral yang dulu menjadi faktor kejahiliahan, perlahan mulai tampak kembali. Kalau ini tidak segera diantisipasi, dikhawatirkan nantinya akan timbul kerusakan yang lebih parah lagi.
Upaya untuk menghindari gejala tersebut tentunya memerlukan suatu terapi kemanusiaan yang ampuh, salah satunya melalui pendekatan peringatan maulid Nabi SAW yang tujuan utamanya adalah mengkaji suri tauladan Nabi Muhammad SAW. Manifestasi maulid Nabi yang berkualitas dalam peradaban kemanusiaan tentu tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya upaya internalilasi makna yang dikandungnya. Internalisasi makna itu sekaligus akan menjadi terapi ampuh jika masyarakat mau dan mampu meneladani nilai ajaran kemanusiaan yang dibawa Nabi SAW seraya mengaktualisasikannya dalam pola hidup sehari-hari, sehingga potensi kemanusiaan selalu berdekatan dengan akhlaknya dan sehingga seolah beliau hidup bersama kita.
Maulid Nabi yang menjadi titik tolak dari semua perubahan. Nabi yang kelahirannya memancarkan cahaya ke seluruh penjuru alam. Nabi yang perilakunya adalah manifestasi dari ajaran-ajaran Islam. Sudah seharusnya setiap muslim menjadikan momentum maulid Nabi sebagai titik tolak perubahan untuk lebih mengenal sang pelopor perubahan. Jangan sampai pengharaman dan pembid’ahan maulid Nabi malah menjadikan umat terlepas dari suri tauladan mulia. Jika hal itu sampai terjadi, maka jangan salahkan mereka bila lebih mengenal bintang film serta bintang-bintang lainnya dibandingkan mengenal nabinya, jangan salahkan mereka bila lebih mengikuti gaya hidup idola mereka dibandingkan suri tauladan Nabi.
“Sesungguhnya dalam diri Rasulullah saw itu terdapat suri teladan yang baik bagi kalian. (QS al-Ahzab [33]: 21)
Maka beruntunglah mereka yang bisa mengenal Nabi dan bisa meneladaninya.
Maulid Nabi; Titik Tolak Peradaban Baru Dunia
Jauh dari sebelum Rasulullah SAW dilahirkan, semenanjung Arab diselimuti kekelaman yang biasa disebut dengan jahiliah, zaman dimana keserakahan dan kepongahan seakan telah membunuh sifat kemanusiaan. Kekuasaan dan kekayaan dimonopoli sedemikian rupa oleh sebagian orang dan golongan, yang membuat kesenjangan antara si miskin dan si kaya semakin dalam. Keadilan hanya milik mereka yang beruang dan berkedudukan dan tak jarang rakyat kecillah yang selalu menjadi korbannya. Status seseorang setiap saat bisa berubah menjadi budak hanya karena hutang yang tidak seberapa. Wanita diperlakukan layaknya barang, bahkan seorang ayah tega mengubur hidup-hidup anaknya yang baru saja dilahirkan hanya karena ia terlahir perempuan.
Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, Islam datang membawa angin segar perubahan, menawarkan harapan bagi mereka yang selama ini merasa terzalimi, merombak tatanan kelam yang menyengsarakan. Meski demikian, hal ini tidak serta merta disambut gembira oleh semua golongan, ada saja penolakan dari mereka yang sumber penghasilan dan kekuasaannya merasa terancam. Bahkan orang yang sebelumnya menjuluki Nabi Muhammad SAW dengan gelar Al-Amin, menjadi orang pertama yang mendustakan. Paman yang sebelumnya berbahagia atas kelahirannya, bepaling menjadi orang yang memusuhi. Kendati demikian, reformasi harus tetap digulirkan.
Tranformasi besar-besaran yang dilakukan Nabi SAW menyentuh semua lini kehidupan, tidak hanya menyentuh permasalahan sosial, namun juga masuk ke ranah individual. Karena perubahan besar tidak akan tercapai tanpa didukung sumber daya manusia yang mumpuni. Generasi yang terus berlomba untuk menjadi yang terbaik, menjadi memotivasi tersendiri untuk selalu melakukan introspeksi dan improvisasi sehingga tumbuh menjadi generasi-generasi unggul. Terciptanya sistem yang tertata yang selanjutnya dielaborasi oleh individu-individu unggul, dalam waktu singkat dapat menghantarkan Islam menuju kejayaan, mengentaskan bangsa Arab dari cengkraman jahiliah.
Diawali dengan pembenahan pada tatanan akidah, Islam datang mengenalkan kembali konsep keesaan tuhan, bahwa “tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, agama yang dahulunya dianut oleh nenek moyang bangsa Arab. Megingatkan kembali bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah, Dzat yang menghidupkan dan mematikan dan Dialah Dzat yang bertanggung jawab atas rezeki seluruh makhluk-Nya. Manusia semua sama di hadapan Allah SWT, bukan harta dan kasta yang menjadi barometernya, namun iman yang ada di dalam dada. Perempuan yang sebelumnya dianggap sebagai nasib sial, perlahan mulai terangkat derajatnya.
Jauh sebelum masyarakat modern mengenal istilah emansipasi wanita, sudah sejak lama Islam telah menghormati dan menghargai harkat martabat wanita yang tentunya masing-masing antara laki-laki dan perempuan memiliki kekurangan dan kelebihan yang saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Al-Quran juga mengabadikan perempuan menjadi nama suratnya; An-Nisa dan Maryam. Bahkan dalam situasi tertentu, posisi perempuan lebih unggul daripada laki-laki;
Diriwayatkan dari Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Ra. berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.” (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Pembenahan terus bergulir hingga menyentuh perekonomian umat. Dimulai dari diharamkannya perjudian, penimpuan serta praktik riba yang sangat merugikan dan memberatkan, yang kemudian berlanjut dengan pengenalan sistem baru berupa zakat dan sedekah agar kekayaan terdistribusi secara merata dan tidak lagi dimonopoli oleh sebagian orang saja. Ditambah dengan adanya imbalan pahala bagi mereka yang selalu berderma, membuat masyarakat yang sebelumnya berlomba-lomba menumpuk harta, perlahan berubah menjadi masyarakat yang berlomba-lomba meyumbangkan harta guna mencari rida Tuhannya.
Perlakuan diskriminasi yang sebelumnya selalu dirasakan kaum lemah pun tidak luput dari jamahan perubahan. Keadilan yang selama ini dieksploitasi oleh para bangsawan mendapan kecaman keras dari Islam, karena kezaliman adalah tindakan yang sangan tercela dan keadilan harus ditegakkan terhadap semua golongan, tanpa terkecuali, bahkan terhadap musuh sekali pun guna terciptanya tatanan masyarakat yang sehat. Terbukti ketika Usamah bin Zaid mengadukan kepada Rasululah perihal seorang wanita dari Bani Makhzum yang mencuri, dengan tegas Rasulullah bersabda:
“Apakah kamu meminta keringanan atas pelanggaran terhadap aturan Allah?” Kemudian beliau berdiri menyampaikan khuthbah lalu bersabda: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadi binasa dikarenakan apabila ada orang dari kalangan terhormat mereka mencuri, mereka membiarkannya dan apabila ada orang dari kalangan rendah mereka mencuri, mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya. Demi Allah, kalau saja Fatimah binti Muhamamd mencuri, pasti aku potong tangannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Aura tranformasi yang terjadi di semenanjung Arab, terus merambah ke seluruh penjuru bumi yang merindukan rasa keadilan. Sebuah peradaban baru yang nantinya menjadi role model dari tatanan Negara modern. Namun, tatanan tetaplah tatanan. Di tengah terpaan hedonisme, materialisme dan konsumerisme modern saat ini, perubahan yang dulu diperjuangkan oleh Rasulullah SAW kini terasa sedikit memudar. Sikap yang mengajak pengikutnya untuk selalu berbuat baik kepada sesama, sedikit demi sedikit mulai terkikis. Manusia seakan lupa dengan tujuan hidup mereka, menjadikan harta sebagai tolak ukur kebahagiaan dan kesuksesan, sehingga terkadang kita saksikan mereka yang berusaha mati-matian dengan mengorbankan moral dan norma-norma agama hanya untuk menggapai apa yang dia inginkan. Lupa bahwa kehidupan ini hanyalah sementara.
Terkadang juga kita temui bahwa pengaplikasian nilai-nilai islami di Negara yang notabenenya non muslim justru sedikit lebih terasa dibanding Negara yang didominasi oleh umat Islam itu sendiri. Perlakuan sarkasme dan rasisme semakin lebih sering kita saksikan dan lagi-lagi kaum lemahlah yang menjadi korban kerakusan. Kebobrokan moral yang dulu menjadi faktor kejahiliahan, perlahan mulai tampak kembali. Kalau ini tidak segera diantisipasi, dikhawatirkan nantinya akan timbul kerusakan yang lebih parah lagi.
Upaya untuk menghindari gejala tersebut tentunya memerlukan suatu terapi kemanusiaan yang ampuh, salah satunya melalui pendekatan peringatan maulid Nabi SAW yang tujuan utamanya adalah mengkaji suri tauladan Nabi Muhammad SAW. Manifestasi maulid Nabi yang berkualitas dalam peradaban kemanusiaan tentu tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya upaya internalilasi makna yang dikandungnya. Internalisasi makna itu sekaligus akan menjadi terapi ampuh jika masyarakat mau dan mampu meneladani nilai ajaran kemanusiaan yang dibawa Nabi SAW seraya mengaktualisasikannya dalam pola hidup sehari-hari, sehingga potensi kemanusiaan selalu berdekatan dengan akhlaknya dan sehingga seolah beliau hidup bersama kita.
Maulid Nabi yang menjadi titik tolak dari semua perubahan. Nabi yang kelahirannya memancarkan cahaya ke seluruh penjuru alam. Nabi yang perilakunya adalah manifestasi dari ajaran-ajaran Islam. Sudah seharusnya setiap muslim menjadikan momentum maulid Nabi sebagai titik tolak perubahan untuk lebih mengenal sang pelopor perubahan. Jangan sampai pengharaman dan pembid’ahan maulid Nabi malah menjadikan umat terlepas dari suri tauladan mulia. Jika hal itu sampai terjadi, maka jangan salahkan mereka bila lebih mengenal bintang film serta bintang-bintang lainnya dibandingkan mengenal nabinya, jangan salahkan mereka bila lebih mengikuti gaya hidup idola mereka dibandingkan suri tauladan Nabi.
“Sesungguhnya dalam diri Rasulullah saw itu terdapat suri teladan yang baik bagi kalian. (QS al-Ahzab [33]: 21)
Maka beruntunglah mereka yang bisa mengenal Nabi dan bisa meneladaninya.
Ditulis oleh Muhajirin, LC.