Kekuatan Lain
“Perhatian, perhatian. Para penumpang pesawat Etihad Airways dengan nomor penerbangan EY 475 tujuan Abu Dhabi, dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu tiga. Terima kasih”.
Pengumuman itu mengaung di langit-langit bandara. Tidak tertuju padaku, tapi sebaliknya. Aku baru saja mendarat dari Abu Dhabi setelah tujuh setengah jam mengudara. Hatiku bergumam : hmm… aroma dari kampungku semakin tercium, walau aku harus melanjutkan perjalanan dua jam lagi esok sore.
Seperti biasa, orang-orang menuju tempat pengambilan bagasi. Satu dua mengambil troli untuk mengangkut koper-koper dan tas-tas jumbo, termasuk aku yang tak hanya membawa satu melainkan dua koper ditambah sebuah tas besar. Maklum, empat tahun sudah tak bertemu keluarga, tentunya tak mungkin pulang dengan tangan kosong.
Orang-orang berkerumun di sekitar rel berjalan pengambilan bagasi. Satu dua orang mulai mengambil koper dan tas mereka masing-masing. Setiap mata menatap tajam antusias koper-koper yang lewat. Hingga lima belas menit berlalu, orang-orang semakin lengang. Mataku masih tak berkedip mengincar tas besar berisi oleh-oleh, setelah dua koper lainnya sudah meringkuk di troli, hingga akhirnya area putaran benar-benar lengang. Begitu juga koper, tak ada lagi yang lewat.
“Ya, Mas. Itu tas terakhir. Coba lihat di layar cctv, di luar sudah tidak ada lagi.”
Aku mencoba bertanya kepada petugas terdekat, mendengar jawaban itu aku mematung.
Ya, tas oleh-olehku hilang.
***
“Yaa, ‘ammu, andak t-shirt?”
“Aiwah yaa brenz’. Aiz kam?”
“Wahid bikam?”
“Talatin geneh bas.”
“Dih ghali yaa ‘amm. Fii takhfidh ya’ ni? Ana aiz kitir.”
“Inta aiz bikam?”
“Isyrin.”
“Kitir awi, leh?”
“Li shodiqi fii andunisia.”
Mentari menerpa lembut sore ini. Aku memborong sepuluh kaos bergambar piramid dan patung Sfinks setelah bercakap-cakap dengan paman penjual untuk menawar harga. Aku menggunakan bahasa arab mesir dengan lancar — tidak segagap empat tahun lalu ketika hanya bisa mengucapkan dah atau dih saja sembari menunjuk barang yang ingin dibeli.
Ini adalah hari terakhirku disini , setelah seminggu yang lalu aku dinyatakan lulus dan mendapat predikat mumtaz pada wisuda akbar tahunan. Tak bisa kusangka mendapat predikat itu, padahal sempat drop ketika ujian akhir. Memang, banyak cerita dari senior terdahulu tentang ‘kekuatan lain’ ketika ujian di universitas Al-Azhar.
“Dulu, saya punya teman yang rajin sekali menghafal muqarrar. Tapi hapalannya hilang begitu saja waktu ujian,” cerita salah seorang senior.
“Kok bisa?” tanyaku dengan dahi terlipat.
“Kurang takzim sama dosen. Eh, tapi ini bukan ghibah ya. Saya kan ngga sebutkan namanya.”
Ada juga senior lain bercerita, kak Rahman, ketika membeli ‘asob dengannya di belakang masjid Al-Azhar setelah selesai ujian termin satu tahun kedua.
“Setelah ujian, perbanyak doa dan tawakal kepada Sang Pemilik ilmu. Saya punya seorang teman, qadarullah dia sakit ketika akan mengikuti ujian dan akhirnya tidak menjawab soal apapun di kertas jawaban kecuali semampunya. Tapi karena selalu menjaga sholat tepat waktu, rajin shalat dhuha dan tahajud, banyak doa dan bertawakal akhirnya dia mendapatkan nilai mumtaz.”
Aku mengangguk kagum. Mendengar beberapa cerita itu aku menyimpulkan–yang juga pernah dikatakan Ustad Okta kepadaku melalui pesan video ketika akan mengikuti ujian termin satu tahun pertama. Kalau teori tentang usaha tidak menghianati hasil itu kurang tepat. Lantas apa yang menjadi faktor keberhasilan kalau bukan dari usaha?
“…. melainkan takdir dan ridha Yang Maha Kuasa,” ucap beliau sebelum mengakhiri pesan video yang dikirim kepadaku.
“Tapi bukan berarti kamu pasrah dengan takdir dan jadi kaum rebahan saja tanpa ada usaha. Bisa jadi karena itu kamu malah tidak diridhai untuk najah di imtihan,” sambung kak Rahman sebelum akhirnya aku berpisah jalan dengannya di simpang mahmud.
Aku berhenti sejenak. Menatap sekitar tepat di tengah-tengah simpang mahmud. Sebentar lagi tempat ini hanya menjadi cerita. Sebenarnya aku belum selesai menyelami negri ini, walau dikata aku sudah mengarungi berbaga tempat : bertemu piramid, menyentuh laut merah yang menjadi saksi bisu pengejaran Fira’un terhadap Bani Israil, menyapa patung Sfinks, menikmati kesiur angin di pantaran sungai Nil, mengunjungi museum Luxor hingga mencicipi salju bukit Sinai. Tetapi, ibarat goa yang berisi emas, perak, berlian dan tambang lainnya, terlalu banyak dan besar untukku yang hanya membawa tas kecil untuk memborong semuanya. Ilmu berlimpah-ruah, bahkan belum seperdelapannya yang ku tahu. Namun, mau tak mau yang disana sudah menantiku, berkhidmat untuk membangun negeri.
“Shodiqi, aiz geneh.”
Sejenak, anak kecil menghampiriku. Menengadahkan tangan, meminta satu pound koin. Baiklah, aku memberikannya, sekaligus sebagai tanda perpisahan. Terima kasih sudah mengajarkanku banyak hal, sabar dan mengikhlaskan.
Matahari tenggelam sempurna. Menyisakan sedikit cahaya. Aku kembali berjalan menjinjing plastik kaos, segera mempersiapkan semuanya untuk terbang besok pagi. Semua urusan sudah selesai. Kini saatnya aku kembali.
***
Aku tiba di bandara Soekarno Hatta.
Menyenangkan sekaligus menyedihkan. Menyenangkan karena akan segera bertemu keluarga, menyedihkan karena harus meninggalkan negeri penuh cerita.
Lebih menyedihkan lagi ketika aku harus kehilangan tas di bandara.
“Coba lapor ke petugas Lost and Found di pojok sana, mas, ” tunjuk petugas ke salah satu sudut.
Tanpa ba bi bu, dengan setengah berlari aku menuju stan.
“Permisi mbak, saya kehilangan tas di baggage claim penerbangan dari Abu Dhabi.”
“Oh, ini ya, mas?” tunjuk petugas ke sebuah tas dibungkus plastik wrap.
Senyum ku kembali. Huh, hampir saja aku kehilangan tas besar. Segera kuraih tas tersebut dan memeriksa.
Seketika senyumku sirna lagi. Itu bukan tas ku. Hampir mirip saja. Memang, tasku juga dibungkus plastik wrap, tapi itu bukan milikku. Dan disana ada kertas kecil tertulis nama ‘Humairoh’ serta alamat rumah.
“Ini bukan tas saya, mbak.”
“Kalau begitu tinggalkan saja nomor telepon disini, nanti kami hubungi jika tasnya sudah ditemukan,” pungkas petugas sembari menyerahkan secarik kertas formulir.
Aku mengangguk kecewa. Sekali lagi petugas tersebut meminta maaf. Setelah mengisi lembaran, aku meninggalkan stan. Berharap ‘kekuatan lain’ itu tak hanya berlaku di negri Nil. Aku mencoba mensugesti diri sendiri : Ayolah, sabar dan mengikhlaskan itu lebih baik.
Aku hanya punya waktu kurang dari dua puluh empat jam untuk menunggu telepon dari petugas–jika memang masih rezeki–hingga esok sore.
***
Aku sudah berada di ruang tunggu bandara untuk terbang beberapa menit lagi. Sampai detik ini belum ada kabar. Sebetulnya aku sudah pasrah. Tak marah juga orang tua kalau anaknya tidak membawa oleh-oleh dari luar negeri. Tapi bagaimana pun rasa ‘tidak enak’ ini masih mengikat.
Teleponku berdering.
“Halo, Assalamualaikum. Ini mas Yazid, bukan?” suara lembut menjalar di speaker telepon.
“Iya, betul.”
“Apa benar mas kehilangan tas di bandara kemarin?”
“Iya, mbak.”
“Eh, maaf, mas. Kemarin saya salah ambil tas. Setelah saya buka plastik wrap tasnya, saya baru sadar ternyata itu bukan tas saya. Untungnya, nama mas dan nomor telepon tertera di atas tas. Mas sekarang dimana?”
“Betul, mbak? Eh, saya di ruang tunggu bandara. Bisa diantar ke sini ngga?” ucapku setengah terkejut, sontak aku menyuruhnya untuk mengantarkan ke bandara. Tak peduli siapa ia dan berada dimana.
“Wah, kebetulan sekali. Saya lagi di perjalanan menuju bandara. Hampir sampai.”
“Waduh, bisa dipercepat mobilnya ngga? Soalnya beberapa menit lagi saya harus masuk kabin.” bukannya berterima kasih, aku malah mendesaknya.
Ketika sekali lagi aku mendesaknya agar cepat sampai bandara, bel bandara berbunyi. Suara pemberitahuan mengawang di langit-langit.
“Saya tunggu di terminal dua domestik ya, mbak. Segera!”
Pemberitahuan masuk kabin sudah diumumkan. Bagaimanapun caranya aku harus mengambil tas oleh-oleh itu. Tanpa pikir panjang aku pun meloncat dari kursi dan langsung berlari sekuat tenaga. Melewati lorong penghubung. Berlari di eskalator datar agar bisa lebih cepat–hampir saja aku jatuh tersungkur. Menuruni anak tangga yang panjang. Menyalip orang-orang. Berpacu dengan waktu. Bandara Soetta ini cukup luas. Sudah habis empat menit untuk berlari. Hingga akhirnya aku sampai di dekat terminal dua. Telepon itu masih tersambung.
“Halo, mbak? Sudah dimana? Saya sudah di pintu terminal dua. Saya buru-buru sekali, mbak!” Aku benar-benar mendesak.
“Saya sudah sampai, mas. Di depan kedai roti sebelah ATM.”
Aku melihatnya. Benar, ia menjinjing tasku. Aku berlari mendekat, lebih cepat dua kali lipat.
“Mas Yazid?”
“Iya. Ini tas saya ya, mbak?”
“Maaf ya, mas. Saya salah ambil dan plastik wrapnya…. ”
“Sudah, tidak apa-apa, mbak. Yang… Yang penting tas saya dan isinya kembali,” aku memotong kalimatnya. Megap-megap.
“Ngomong-ngomong, tas yang seharusnya mbak ambil gimana? Sudah ketemu?” Aku mencoba menarik napas.
“Ada yang mengantarkannya ke rumah saya kemarin. Saya tidak tahu siapa orangnya. Yang jelas saya…”
Bel pemberitahuan berbunyi.
“Panggilan terakhir. Kepada bapak Yazid Algifari Chiko, untuk segera memasuki pesawat udara.”
Tanpa disuruh dua kali, aku langsung balik badan dan berlari.
“Terima kasih, mbak!”
Ucapku berteriak. Menoleh ke belakang sedikit sambil berlari membopong tas di dada. Apa? Dia bilang ada seseorang yang mengantarkan tas ke rumahnya? Berarti tak lain dan tak bukan dia adalah Humairoh. Memang, sebelum meninggalkan stan Lost and Found kemarin, aku meminta kepada petugas agar bisa mengantarkan tas dengan plastik wrap itu. Karena, alamatnya tak jauh dari tempatku menginap. Namun, saat aku mengantar ke rumahnya–yang sebenarnya aku tidak tahu pemilik tas tersebut, dia tak ada di rumah. Ibunya yang menerima. Dan sebelum pamit, aku sempat bercerita sedikit tentang tasku yang hilang. Beliau hanya mengatakan semoga tasku cepat kembali.
Dan akhirnya tasku benar-benar kembali. Alhamdulillah.
Tapi sekarang bukan itu yang kupikirkan. Sekali lagi aku harus berpacu dengan waktu agar cepat tepat kembali ke ruang tunggu dan segera masuk pesawat. Menyalip orang-orang. Menaiki anak tangga yang panjang lagi. Namun, sebelum sampai di eskalator datar aku baru ingat kalau harus melewati alat pemindai lagi. Lebih parahnya, antrian disana panjang.
Aku mendesak petugas alat pemindai di belakang antrian panjang agar bisa segera masuk.
“Maaf, mas. Karena mas dari luar, tetap harus melewati scanner ini untuk masuk ke dalam lagi,”
“Aduh, mohon pak. Tiket saya nanti hangus. ”
“Maaf, mas. Ini sudah menjadi peraturan bandara. Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya mematuhinya,” tegas petugas.
Aku tak bisa lagi menghendaki apapun. Habis dua menit untuk mengatre. Wajahku cemas tidak karuan. Semoga masih ada ‘kekuatan lain’. Semoga aku tidak terlambat.
Sekarang giliranku. Aku setengah melempar tas ke alat pemindai khusus barang. Aku melewati alat pemindai. Berusaha cepat.
Alat pemindai berbunyi.
“Ikat pinggangnya, mas,” petugas menunjuk pinggangku.
Aduh, ini merepotkan sekali. Aku harus kembali mundur, membuka ikat pinggang. Hampir lupa lagi, dompet dan handphoneku, kumasukkan ke dalam wadah.
“Baik, silahkan, mas.”
Aku berhasil melewatinya. Walaupun itu mengabiskan beberapa menit yang sangat berharga. Aku kembali berlari setelah mengambil semua barang dari dalam wadah. Berlari membopong tas di atas eskalator berjalan, melewati lorong penghubung. Berlari dengan kecepatan berlipat-lipat. Aku tersengal-sengal.
Hingga akhirnya aku tiba di ruang tunggu dan terlihat pesawat yang akan kunaiki sudah bergerak mundur.
“Mohon maaf, mas. Mas tidak bisa masuk ke dalam pesawat lagi. Pesawat sudah bergerak.”
Aku terlalu teledor. Jika situasinya tidak mendesak, aku bisa berpikir jernih. Lebih baik aku meminta tolong kepada mbak Humairoh untuk mengirimkan tasku lewat jasa pengiriman daripada tiket ini harus hangus dengan konyol. Tapi, setidaknya sugestiku tidak sia-sia dan aku bisa membuktikan kalau ‘kekuatan lain’ itu tidak datang dengan sendirinya. Harus ada pemantik sehingga bisa muncul. Barangkali, mengantarkan tas kepada mbak Humairoh itu telah menjadi pemantik tasku bisa kembali. Dan sekarang pemantik apalagi yang harus kubuat untuk mengganti tiket yang hangus ini?
Aku menarik napas, mensugesti diri : Tidak cukup sampai disini. Ingat, sabar dan mengikhlaskan itu lebih baik.
8 Februari 2019
El-Darb El-Ahmar
Muqarrar : diktat kuliah
Mumtaz : Cumlaude
Najah : Berhasil
Imtihan : ujian
Paman, ada kaos?
Ada. Mau berapa?
Satu buah berapa harganya?
Tiga puluh geneh saja.
Itu mahal sekali. Ada diskon gak? Saya mau beli banyak.
Kamu mau berapa?
Dua puluh.
Banyak sekali. Untuk apa?
Untuk temana saya di Indonesia.
Cerpen oleh : Nuzul Fadhli Ramadhan