“Mengingat”, Sebuah Kisah Di Restoran
Suara sendok dan garpu riuh berdenting memenuhi seisi ruangan. Beberapa orang sibuk mengunyah makanan yang ada dihadapan masing-masing. Diantara belasan orang yang tengah duduk menyantap makanan di satu siang itu, ada hal yang terlihat sedikit aneh. Berbeda dari yang lain. Teramat mencolok. Penampilan, postur badan, garis wajah dan perawakan.
Tiga orang manusia yang mencolok itu adalah Steven, Morgan dan Aldo. Dilihat dari perawakan, jelas mereka orang asing di sana. Secara, mayoritas manusia yang ada di situ berpostur tinggi jangkung, jenggot nan tebal serta badannya yang tegap berisi. Sedang tiga pemuda ini perawakannya sedang, mata hitam, rambut gelap bergelombang, hidung tidak pesek, tidak pula mancung. Bisa dipastikan bukan keturunan Ras Kaukasoid Eropa atau Negroid Afrika. Dari ciri-ciri tadi, diduga kuat mereka adalah keturunan Mongoloid yang banyak mendiami sebagaian besar Asia dan Australia.
Yap, benar sekali, mereka bertiga adalah Pemuda Asia yang berasal dari daerah tenggara benua itu.
Di tengah-tengah lalu lalang pengunjung restoran, mereka sibuk dengan percakapan memakai bahasa mereka sendiri. Seolah tak mempedulikan percakapan orang sekeliling yang berbahasa Arab.
Benar, mereka bertiga adalah pelajar asing yang tengah menimba ilmu di Negeri Firaun, Mesir.
*********
Steven. Pemuda blasteran berpaspor Indonesia ini, belum lama memeluk agama Islam. Ibunya adalah wanita kristiani asal Belanda yang menikah dengan ayahnya; seorang Jawa. Umur lima belas tahun, Steven memutuskan untuk ikut papanya memeluk Islam.
Lima tahun menceburkan diri ke dunia Pesantren, Steven saat ini menjelma menjadi pemuda saleh berparas tampan ala Indo-Belanda yang mahir dalam ilmu agama.
Kemudian, Morgan. Ahli karate pemegang sabuk hitam ini berasal dari Kedah, Malaysia. Diantara mereka bertiga, Morgan-lah yang paling tua umurnya. Sudah tujuh tahun dia menjadi Diaspora di negeri orang; dengan tujuan menimba samudera ilmu dari para masyayikh Al-Azhar.
Tak tau, mengapa, pemuda Malaysia satu ini malah akrab dengan dua orang pemuda negeri tetangganya, Indonesia.
Dan terakhir, Abraham Aldo Jauzan. Pemuda yang sedang melamun, menatap kosong sesuatu di luar jendela dengan tangan yang sedang memegang sendok dan garpu tanpa menyuapkan makanan itu ke mulutnya.
Hari itu, selepas mengaji kitab Al-fiyah Ibnu Malik yang diampu Syekh Utsman, di Disrik Hay Sabi, Kota Kairo. Mereka bertiga singgah, makan siang di salah satu restoran mewah di Distrik hay Asyir.
“Aldo, ape pasal kau, ni, menung je?,” kata Morgan, memecah lamunan Aldo.
“Eh, nggak bang,” balas Aldo cepat, tau bahwa lamunannya sudah disadari oleh dua orang sahabat barunya.
“Hmm, paling juga lagi mikirin si doi, dia bang,” kali ini Steven mencoba menggoda Aldo.
“Ape do’i tu?,” tanya Morgan heran.
“Ah, nggak usah dilanjutin, Bang. Si Steven aja yang mikirnya nggak-nggak,” Aldo tampak tak tertarik dengan gurauan Steven.
“Aku lagi hanyut, bang. Hanyut dalam buaian kenangan masa lalu,” kata Aldo, pelan.
“Haha, tu, kan. Apa kata gua. Si Aldo pasti lagi mikirin putri semata wayangnya pak kiai itu,?,” Steven tampak memburu sahabatnya itu dengan pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan.
“Aduh, cerita lah same kite, Do. Masa tak mau cerite, kalau ade masalah, cerite lah. Tak kuat abang dengar kalimat puitis kau tu, melayang-layang lah, kenangan masa lalu, lah.”
Mendengar itu, Aldo hanya tersenyum tipis, menampakkan senyum manisnya.
“Yey, cerita, Do. Gua suka banget denger cerita lo” ucap Steven yang lantas memperbaiki posisi duduknya, seakan-akan sedang mendengarkan kisah hikmah dari seorang syaikh yang tengah mengajar di Masjid Al-Azhar.
Aldo menarik nafas panjang; Sembari mengatupkan kedua bola matanya.
“Haha, serius amat kamu, Stev. Kayak anak TK mau dengar dongeng ibu gurunya aja,” Canda Aldo.
“Ahh, udah, ayok cerita. Liat tu, bang Morgan udah nungguin cerita-cerita penuh drama lo itu,” balas Morgan tak sabar.
“Oke, lah. Saya cerita deh. Biar kamu nggak mikir macam-macam, Stev. Enak aja, bilang aku mikir Si Fitri; anaknya Pak Kiai itu, sembarangan aja!.”
Steven hanya bisa nyengir lebar mendengar gumaman sahabatnya itu.
“Jadi gini, Bang, Stev. Aku sebenarnya nggak lagi mikirin kenangan masa lalu penuh drama yang dibilang Stev. Tapi, sejak selesai ngaji tadi, kata-kata Syaikh tentang ‘Kita yang harus bersyukur sudah diberikan kesempatan menimba ilmu; seakan menghujam dalam sekali ke dadaku,” Aldo memulai cerita dengan suara baritonnya nan seksi yang mampu membuat ‘meleleh’ banyak wanita kala mendengarnya.
“Karena itu, aku sadar sekali, bahwa Allah sudah baik sekali padaku, setelah jalan terjal yang ada, aku akhirnya bisa merealisasikan mimpiku sejak kecil; bisa menimba ilmu di Negeri Para Nabi ini. Secara, dulu, setelah lulus SD, niatku untuk melanjutkan sekolah ke pondok pesantren tidak disetujui ayah. Kata ayah, waktu itu aku masih terlalu kecil, belum siap untuk hidup mandiri, jauh dari orang tua. Jadilah aku mengurungkan niatku sekolah ke pesantren.”
“Nah, ceritanya keren, nih. Ada melow-melownya gitu. Ayo, Do, terusin. Sampe malem juga gua siap dengerinnya, ” celetuk Stev.
“Aduh, ngape pulak kau potong die cerite, Stev,” protes Morgan.
“Heheh, nggak, Bang”
“Ayo, do, terusin, Bang Morgan juga nggak sabar mau dengerinnya,” Steven meminta Aldo melanjutkan ceritanya yang terpotong.
“Iya, aku nggak jadi masuk pesantren, dan aku melanjutkan sekolah ke salah satu SMP terkemuka di daerahku. Nah, kebetulan, kepala sekolahnya adalah ayahku sendiri.”
“Walalupun agak sedikit terpaksa, namun aku terima saja permintaan orang tua waktu itu. Lagipula, ada obat penawar dari ayah; nanti, setamat dari SMP, aku boleh memilih melanjutkan ke sekolah manapun di seluruh indonesia. Namun, konsekwensinya, aku yang sudah dari kecil ingin kuliah di Mesir, tampaknya harus menunda dulu perealiasasian mimpi itu. Ya, kita sama-sama tahu kalau untuk lulus seleksi Mahasiswa Baru Al-Azhar yang diadakan Kementrian Agama RI, syaratnya, ya, harus mahir bahasa Arab, sedang di SMP umum tidak ada pelajaran bahasa Arab.”
“Tiga tahun di SMP, aku mulai lalai dalam belajar. Terbukti, prestasiku selama di SD yang tak pernah absen mendapat peringkat satu kelas, waktu SMP menurun ke rangking dua, bahkan beberapa kali, rangking tiga. Ya, walaupun masih dapat rangking, tapi dalam keluargaku, tidak mendapat juara pertama di kelas adalah aib, hal yang memalukan. Namun waktu itu, aku tak ambil pusing, karena sedari awal, aku memang tak terlalu niat belajar. Ya, belajar itu hanya agar tidak terlempar dari tiga besar. Karena takut ayahku malu sekali kalau salah satu anaknya tidak mendapat peringkat tiga besar di sekolah.”
“Wihh, ternyata lo memang udah pinter sejak dulu, ya,” lagi, Steven memotong cerita Aldo.
Tanpa menaggapi Steven, Aldo kembali bercerita, sembari matanya menatap satu dua awan putih yang menggantung manja di antara birunya langit Kairo.
“Menjelang bulan-bulan akhir di SMP, aku masih sibuk dengan berbagai urusan organisasi yang memang menjadi duniaku sejak masih duduk di kelas tujuh.”
“Terhitung berbagai Event, lomba kuikuti kala itu, hingga sudah masuk minggu-minggu ujian -pun aku masih harus mengambil cuti untuk mengikuti Workshop Ketua Osis Se-Provinsi Jambi yang diadakan Kemendikbud. Terakhir, aku mengikuti Jambore Dareah Jambi -yang di kemudian hari rupanya aku terpilih sebagai salah satu peserta mewakili Provinsiku di jambore nasional yang diadakan di Cibubur, Jakarta Timur.”
“Singkat cerita, setelah acara perpisahan di sekolah. Aku kembali menata niat yang telah lama kusimpan di salah satu rak mimpiku. Yap, apa lagi kalau bukan melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren.”
“Setelah bulat memilih Pondok Pesantren yang akan menjadi pelabuhan tempat bersender dalam mengarungi alur kehidupan ini, terpilihlah satu pondok pesantren yang ada di Gresik, Jawa Timur -sebagai tempat lanjutan pendidikanku.”
“Lah, kok, lo jauh banget ke Jawa Timur, Do?, emang lo punya kelurga di sana?,” tanya Stev, penasaran.
“Nah, itu dia, Stev. Aku ini terlahir dari keluarga yang asli berdarah Melayu. Satu pun aku tak ada kerabat di Pulau Jawa. Waktu itu, Bahasa Jawa, bagiku sama dengan Bahasa Arab, Gelap! Sama sekali nggak paham!.”
“Saat diawal-awal masa-masa pesantren, semuanya baik-baik saja. Namun, tiga empat bulan kemudian, barulah aku merasa, bahwa pilihanku menimba ilmu di pesantren ini bukan perkara mudah. Aku, yang waktu itu seorang anak dari SMP umum yang notabene tak pernah membuka buku-buku pesantren, amat kesulitan memahami kitab kuning yang hampir 90 persen berbahasa Arab.”
“Apa yang dulu pernah di katakan ayah, akhirnya terbukti. Kata ayah: ‘anak SMP umum seperti kamu, kalau masuk pesantren salaf tingkat aliyah itu tak ubahnya seperti bocah yang baru masuk SD tapi tak pernah sekolah TK; Susah menangkap pelajaran dan masih asing dengan dunianya,’ begitu wejangan ayah –semalam sebelum mengantarkanku ke Pesantren.”
“Dan itu benar, Sangat benar. Aku merasa amat asing dengan kehidupan pesantren, dengan sistemnya, dengan gaya hidupnya dan seabrek problem lain yang menghadangku waktu itu.”
“Wahh, itu hampir sama dengan kondisi gua waktu pertama masuk pondok dulu, Do. Asing banget, ya. Kayak nggak kuat rasanya. Tapi untung, waktu itu gua pesantrennya deket rumah, masih daerah jakarta. Juga, orang-orang di sana pake bahasa Indonesia, jadi gua paham bahasa mereka,” Stev berusaha mengingat masa-masa awalnya, dulu, saat baru pertama belajar Islam di Pesantren.
“Nah, terus ape yang kau buat, Do?,” tanya Morgan.
“Masalahnya waktu itu bukan hanya tentang bahasa, Bang. Tapi juga betapa aku dikejutkan dengan kewajiban menghafal Kitab-kitab yang -menurutku- teramat banyak dan sukar dimengerti.” Kenang Aldo.
“Betapa tidak, seorang yang belum pernah mempelajari Nahwu Shorof barang secuil, tiba-tiba sudah diwajibkan menghafal kitab Al-fiyah ibnu malik; 1002 bait! tanpa terkecuali!.”
“Jangankan menghafal kitab Nahwu yang terkenal seantero dunia itu, dasar-dasar ilmu Nahwu saja aku tak tahu. Memang waktu itu semuanya masih gelap. Tujuan mempelajari pelajaran ini, pelajaran itu, tak dapat aku cerna dengan baik.”
“Di sisi lain, tantangan baru datang. Saat seleksi penempatan kelas, Naasnya, aku terjerumus ke kelas elit kalangan ‘pendekar-pendekar nahwu’ yang ada di pesantren.”
“Sebenarnya, untuk anak baru sepertiku, ada jurusan kelas yang lebih akomodatif, yaitu jurusan IPA atau IPS yang juga mempelajari pelajaran-pelajaran umum yang pernah ku pelajari di SMP sebelumnya. Namun, di kelas IPK (ilmu pengetahuan keagaamaan), di kelas ini, Santri hanya fokus mendalami Kitab-Kitab Kuning ala Pesantren Salaf, Yang mana, sudah barang tentu membuatku pusing tujuh keliling untuk menyetarakan pemahaman seorang anak lulusan SMP dengan para lulusan terbaik MTS pondok pesantren dari berbagai penjuru indonesia yang ada di Kelas Elit itu.”
“Hahah, lucu juga cerita lo, Bro,” kata Steven sambil tertawa.
“Kalau gua sih, dulu, pas baru masuk Pesantren, ada tempat khusus buat gua belajar dari dasar banget. Sampe-sampe dulu, gua udah gede, tapi masih belajar Alif, Ba, Ta,” kenang Steven.
Shrrrruuupp.
Morgan meminum kopinya yang terbengkalai sejak tadi; karena fokus mendengarkan cerita Aldo.
Matahari diatas bumi Kairo sudah berangsur turun sejak pertama mereka datang ke restoran ini. Tampak meski waktu makan siang telah jauh berlalu, tapi keramaian di restoran ini seperti tak mengenal kata sepi. Tetap saja, semua meja penuh dengan tua muda yang asyik mengobrol.
Di meja sebelah mereka, dua orang kerabat sedang masyuk bercengkarama sambil menghisap rokok khas negara Mesir, yang dikenal dengan istilah Sisya.
“Bro ayo lanjutin ceritanya, gua penasaran nih, gimana caranya lo bisa sampe ke Mesir ini,” Pinta Steven pada Aldo.
Sekilas, Aldo melihat notifikasi yang ada di Handphonenya, lalu memperbaiki posisi duduk untuk kembali melanjutkan ceritanya yang tampak sangat ditunggu-tunggu Steven.
“Oke, sampai mana tadi?,” tanya Aldo -pura-pura lupa.
“Batas pusing tujuh keliling, Do,” sahut Morgan cepat.
“Oh, iya,” Aldo yang hanya berpura-pura lupa itu kembali melanjutkan kisahnya.
“Seperti yang kalian pikirkan, aku pun berusaha siang malam, tanpa jeda, untuk berusaha mengejar tiga tahun materi MTS yang belum kupelajari. Aku begitu yakin, kalau tidak ada yang mustahil di dunia ini.”
“Diantara yang kulakukan adalah aku mengamati perilaku dan cara belajar santri-santri unggulan yang ada di pesantren. Kuamati mereka sangat tekun dalam belajar. Kalau Belajar Malam, sampai pukul 01 dini hari baru kembali dari Musala; mereka menghafal di sana sampai tengah malam, dilingkupi sepi dan sunyinya waktu dini hari.”
“Perlahan akupun mengikuti gaya belajar mereka yang begadang malam-malam untuk menghafal. Meski diawal, beratnya setengah mati untuk menahan bola mata agar tak terpejam. Namun dengan beberapa cara aku bisa mengakali agar tidak terlelap saat menghafal. Diantaranya mengoleskan sejumput Balsem ke kelopak mata saat rasa ngantuk menyerang. Ya, agak terdengar ekstrim, namun nyata, itu pernah kulakukan. Dengan cara itu, cukuplah mata ku tak bisa dipejamkan berjam-jam kemudian.”
“Kemudian, hal yang tidak diharapkan terjadi. Satu waktu menjelang ujian kenaikan kelas. Aku jatuh sakit. Dengan berat badan yang tinggal 39 kilo, aku waktu itu dilarikan ke Klinik Pesantren dengan keadaan tak berdaya. Dua hari dirawat di klinik pondok, Dokter menyarankan agar aku dibawa pulang, supaya mendapat perawatan yang maksimal.”
“Mendengar hal itu, teman-temanku ingin menghubungi orang tuaku untuk memberitahukan keadaanku yang memprihatinkan. Tiga hari tiga malam aku menolak mengkonsumsi apapun. Hanya sebatang selang infus yang menopang hidup kala itu.”
“Dan Aku masih bersikeras untuk tidak memberitahu ibu dan ayah akan kondisi ini. Meski teman-temanku memaksa, aku tetap tak memrkenankan satupun dari mereka memberitahukan kondisiku pada orangtua.”
Namun, salah satu seniorku, bertindak lain, dia menghubungi orang tuaku dan menceritakan kondisiku pada mereka. Berat badan yang turun drastis, bola mataku yang menghitam dan keenggananku untuk makan tiga hari terakhir.
“Tentu kalian tahu apa yang terjadi?,” Aldo berhenti sejenak. Menghirup udara musim panas kota Kairo.
“Waduh, kenape tak nak cakap orang tua ka kampung do?,” tanya Morgan pelan.
“Iya, parah lo, masa udah sakit gitu masih sok kuat aja”, Staven ikut geram mendengar cerita Aldo.
Aldo hanya menarik sedikit urat di pipinya, membentuk lengkungan indah senyuman bak pelangi dikala hujan reda.
“Huufff.”
Aldo menarik nafas panjang.
“Saat ini, setelah semuanya berlalu, aku baru sadar watak ku yang sebenarnya, Stev. Bahwa aku memang suka dengan sikap sok kuat itu. Pikiranku selalu berkata untuk terus tegak meski semuanya memaksaku untuk tertunduk. Watakku yang tak mau terlihat lemah, memang sedari dulu telah memprogram hidupku untuk tidak pernah menyerah pada badai apapun yang menerpa.” Ucap Aldo yang suka puitis kalau berbicara.
“Namun waktu itu, setelah ibuku tahu bahwa aku sedang sakit parah, kedua orang tuaku segera mencari penerbangan hari itu juga untuk bisa menjemputku pulang dari pesantren.”
“Diujung telepon, aku mendengar serak suara ibu menahan kekhawatirannya terhadap putra semata wayangnya ini.”
“Tapi, waktu itu, aku meminta di berikan Handphone untuk memohon pada ibu, agar mengurungkan niatnya untuk datang menjemputku. Tak tahu mengapa, aku berani mengambil keputusan gila, untuk pulang sendiri ke Jambi dengan keadaan seperti itu.”
“Gila kamu, Do,” Bentak salah satu teman yang setia menemaniku selama aku dirawat di Klinik Pesantren.”
“Aduh, gua ikutan kesel dengerinnya, nih!. Bisa bisanya lo buat keputusan nekat gitu, ya,” protes Steven.
“Jangan lah ngamuk, Stev. Aldo kan cerite pengalaman die dulu je, korang jangan marah pulak,” sahut Morgan.
“Hmm, iya, Stev. Akhirnya hari itu juga, infus dicabut dan siangnya, pukul 14:00 jadwal penerbanganku dari Surabaya-Jambi. Dan celakanya, aku harus transit dulu selaam 5 jam di jakarta.”
“Dan kalian pasti tahu, dengan kondisi seperti itu, menunggu di bandara tanpa membawa alat komunikasi apapun adalah diantara hal gila yang penuh resiko.”
“Hah! kau tak bawa Handphone ke?,” tanya Morgan cepat.
“Iya, Bang. Waktu itu, aku belum mempunyai HP. Karena dalam tradisi keluarga kami, haram hukumnya anak ayahku mempunyai HP semasa sebelum kuliah.”
“Gila!. terus lo pulang dari Surabaya ke Jambi tanpa pegang HP, Do?,” serang Steven.
“Yap, benar sekali. Di Waiting Room Bandara Soetta itu aku meringkuk diatas kursi panjang berbantalkan tas sandang yang kubawa dari Pesantren. Empat jam aku menggigil kedinginan antara hidup dan mati, di Waiting Room Bandara!.”
“Tapi lo sampe juga kan, ke Jambi?,” tanya Steven tak sabar.
“Eh, sabar sikit lah, Stev. Biar die cakap dulu,” protes Morgan pada steven yang terus memotong Aldo.
“Hahaha, iya, Stev. Aku sampe juga kok,” Aldo tertawa melihat tingkah lucu Steven.
“Akhirnya, aku bisa pulang, dan bisa kalian bayangkan, bagaimana satu keluarga besar telah siap menjemputku di Bandara Jambi. Rasa kesal bercampur khawatir bergantung di tiap senti wajah keluarga yang sudah menunggu sejak tadi di Bandara.”
“Siapa coba yang nggak kesal, udah tau sakit udah lama, nggak ngabarin lagi, kalau sakit, terus sok-sokan mau pulang sendiri padahal lagi sekarat, aduh-aduh, memang parah lo, Bro” ucap Stev.
“Jadi, kau sakit ape, Do,” tanya Morgan.
“Setibanya di Jambi, aku langsung dilarikan ke Rumah Sakit. Dan kata Dokter, aku positif terkena hepatitis B, tapi untungnya belum sampai derajat parah, karena hampir saja mau Hepatitis B. Begitu kata dokter”.
“Ya, memang wajar sih, karena waktu itu, memang aku sangat memaksa diriku untuk begadang tiap malam, sampai sehari semalam hanya tidur dua jam, itupun kuakali dengan mensabotase 30 menit waktu istirahat –untuk sejenak mengistirahatkan otak.
“Setelah seminggu dirawat di Rumah sakit, fix, kedua orang tuaku melarang aku untuk kembali ke pesantren. Bahkan Ayah sudah bertindak jauh dengan mendaftarkanku di salah satu SMA terfavorit di kotaku.”
“Dan ibu telah menelepon pihak pesantren untuk mengirim barang-barangku yang masih di pesantren untuk di pos-kan ke Jambi; karena aku sudah didaftarkan di SMA.”
“Sontak saja, setelah mengetahui Konspirasi ayah dan ibu ini, aku menolak. Penolakan keras kulayangkan. Aku tak mau pindah dari pesantren. Apapun kondisinya pesantren sudah menjadi bagian dari hidup seorang Muhammad Aldo Bahriata.”
“Assalamualikum ya shodiq,” seorang pelayan perempuan membawa segelas teh ditangannya -sembari mengucapkan salam.
“Waalaikum salam,” jawab Steven, Morgan dan Aldo serempak.
“Dih shay, li, shoh?,” tanya Steven pada pelayan itu.
“Aywah, itfadhol,” ucap, pelayan, sembari meletakkan segelas teh diatas meja di hadapan Steven.
Ya, teh itu adalah pesanan Steven beberapa menit sebelumnya. Karena kopi yang ia pesan sedari tadi sudah tandas karena keasyikan mendengar kisah Aldo, dia ingin menambah satu gelas lagi.
Shhrruupp.
“Ayo, Do, lanjutkan ceritanya. Jadi lo beneran pindah ke SMA, Bro”, tanya Steven masih setia dengan rasa penasaran yang membuncahnya itu. “
“Waktu itu, nyaris saja aku menyerah pada keinginan orang tua untuk memindahkanku dari pesantren. Masih kuat tertancap dalam memoriku bagaimana ayah merayuku dengan segala daya dan upaya agar aku tak lagi mau melanjutkan studi di pesantren.”
“Di atas meja makan, malam itu. ayah melakukan negosiasi dihadapan seluruh anggota keluarga. Katanya, kalau aku mau pindah dari pesantren ke SMA, seminggu lagi akan datang Mobil baru dari showroom, khusus untukku!, Handphone keluaran terbaru akan segera tiba di depan mata. Motor bermesin empat tak, lusa akan didatangkan khusus untuk diriku seorang.”
“Rasa-rasanya, ucapan ayah itu tidak main-main, karena kami tahu benar bagaimana sikap ayah, sekali sesuatu terucap dari mulutnya, maka apapun yang terjadi akan diperjuangkannya.”
“Dan tawaran menggiurkan itu rupanya sukses menimbulkan getaran 5,0 Skala Richter dalam dadaku. Meihat tatapan mata seluruh anggota keluarga yang tak lagi menginginkanku pergi ke pesantren, sedikit, namun pasti, berhasil menggoyangkan prinsipku.”
“Alamak! Kau tolak tawaran bapak kau, tu?!,” seru Morgan tak sabar.
“Yap, benar sekali. Aku juga bingung, hal apa yang se-begitu kokohnya bercokol dalam benakku waktu itu, meski tidak se-mantap sebelumnya, aku tetap menolak tawaran menggairahkan dari ayah,”
“Hmm, memang udah keras kepala dari dulu, berarti sahabat gua satu ini, ya,” senyum simpul Steven merekah bak oase di tengah-tengah musim panas Mesir yang mencapai suhu 40 derajat kala itu.
“Begitulah, Stev, mungkin kamu benar, aku adalah orang yang keras kepala. Namun sampai saat ini, aku sangat bersyukur sekali karenanya. yap, berkat sikapku waktu itu, aku bisa sampai ke sini; Dapat kuinjak tanah bersejarah, yang mungkin dahulu juga pernah diinjak oleh bala tentara Firaun ketika mengejar Musa.”
“Nah, setelah itu apa, Do,” protes Steven; melihat Aldo malah sibuk membuka ponsel pintarnya.
“Ya, setelah itu, bisa kalian tebak. Aku pun kembali ke pesantren, dan memulai semuanya kembali, seakan-akan tak terjadi apa-apa. Rutinitasku kembali berputar. Setelah melewati letih dan lelahnya keringat bercampur cairan infus itu, akhirnya, hal yang telah hilang semenjak kelas enam SD kembali hinggap didalam buku raporku.” Aldo tersenyum penuh arti.
“Kelas tiga aliyah, dua semester berturut-turut, ditengah-tengah para bintang itu, Anugerah Peringkat Pertama, kembali duduk manis di pelukanku. Ditambah sederet piala dari berbagai perlombaan tingkat nasional dan internasional yang berhasil kuperoleh waktu itu.”
“Wih, hebat lah kau, ni. Tak sie-sie aku bekawan dengan orang macam kau, ye,” kata Morgan sumringah.
Aldo hanya bisa tersenyum tipis mendengar kesekian kalinya dia mendapat kalimat sanjungan seperti itu. Aldo mengerti betul bahwa kebanyakan orang hanya akan melihat bagaimana kesuksesan seseorang ketika ia sudah berdiri tegak di puncak. Sedang, banyak yang tak sudi melihat betapa sebelum sampai di puncak, perjalanan berat nan menggetarkan dan amat melelahkan harus dititi dan ditempuh.
Keringat, darah, dan botol infus yang telah ia lewati semasa transisi dari seorang anak sekolah umum yang terdampar di tengah-tengah para bintang pesantren itu rupanya dikemudian hari, tanpa pernah ia bayangkan. Dapat diceritakannya kembali ke hadapan dua orang dari antah berantah.
Tak pernah ia bayangkan bahwa kisah singkatnya ini pertama kali ia buka kepada dua orang sahabat barunya; Pemuda blasteran Indo-Belanda, dan seorang pemuda saleh asal Negeri Jiran, Malaysia.
**********
Allahu akbar Allahu akbar.
Suara Azan ashar berkumandang memenuhi tiap sudut bangun ruang yang terbentang di atas Bumi Kinananah, Mesir. Tanah sejuta kenangan yang berulang kali disebut Allah dalam al-quran ini menyimpan berton-ton kenangan dan berjuta kisah amat menyejarah. tentang anak manusia keturunan adam yang menjalani hidup sebagai makhluk tuhan yang maha kuasa.
*********
Aldo dan Morgan sudah duduk di dalam mobil, mereka tengah menunggu Steven yang sedang membayar belanja makanan di kasir restoran. Tak lepas lidah mereka mengucapkan satu dua huruf yang menjelma menjadi kalimat, dan kalimat itu sukses mentransformasikan rasa syukur mereka atas karunia agung; dapat bermesraan dengan ilmu agama di masa muda, serta karunia mendapat sahabat orang-orang luar biasa; Persis seperti apa yang diucapkan oleh Syekh Utsman saat di majelis yang mereka hadiri bersama pagi tadi. Cerpen oleh : Rifaldhoh