Menyuburkan Empati Dengan Ramadhan
Setelah beberapa hari di lalui, Ramadhan terasa semakin akrab dengan dengan jiwa para shaimin, karena jiwa pelaku puasa telah tersentuh oleh keajaiban-keajaiban hikmah puasa. Bahkan sentuhan hikmah puasa itu menanamkan sebuah cita mulia, karena mengimpikan semua bulan yang setiap hitungan harinya adalah Ramadhan. “Jika ummatku mengetahui tentang apa yang tersedia dalam Ramadhan, maka mereka akan mencitakan semua bulan menjadi Ramadhan.” Ungkapan berharga ini menjadi cermin dari sikap yang sejatinya menunjukkan bahwa telah menyatunya perintah puasa Ramadhan dengan mutiara hikmah puasa dalam rill kehidupan.
Tentu menjadi absah, bahwa Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya berpuasa bukan bertujuan untuk melaparkan dan mendahagakan semata. Karena, jika lapar dan dahaga menjadi tujuan, maka justru bertentangan dengan keputusan Allah dan Rasul-Nya yang melarang dan bahkan mengharamkan semua hamba-Nya berpuasa dalam hari-hari tertentu, seperti puasa di dua hari raya dan hari tasyriq di bulan Haji. Hal ini menunjukkan bahwa berlapar dan menahan dahaga menjadi watsilah dalam memeras intuisi kemanusiaan seorang hamba agar nurani ketaqwaannya hidup, sehingga hidupnya nurani ketaqwaan menjadi pertanda hidupnya seorang hamba. Bukankah Rasul telah bersabda “bagi siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, maka tidak ada kebutuhan bagi Allah atas perbuatan hamba yang menahan lapar dan dahaga”. Semua muslim yang memahami agamanya secara benar, sudah tentu sepakat, bahwa aspek ibadah yang telah difardukan Allah swt, tidak semata terperangkap dalam pembahasan hubungan hamba dengan Sang Pencipta. Akan tetapi, seyogyanya menjadi pedoman dalam bersikap dan berinterkasi dengan sesama makhluk, khususnya sesama manusia. Dari itu, aspek ibadah dalam Islam selalu mengandung dua dimensi sekaligus, ketuhanan dan sosial kemasyakarakatan. Kedua dimensi ini mesti selaras, bahkan antara keduanya bak kepingan mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam dimensi ragawi, puasa tentu menjadi bagian dari upaya terapi sehat, mengingat, kehadiran berbagai penyakit yang menyerang tubuh manusia, diantaranya bersumber dari faktor makanan yang dikomsumsi. Dari sini kemudian, istilah “puasa” tidak lagi menjadi suatu terma yang dipatenkan dalam ruang ibadah Ramadhan semata, namun juga sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bahasa medis dan kesehatan. Walaupun, dalam pelaksanaan ibadah Ramadhan, justifikasi sehat dengan dalil shumu tasihhu (berpuasalah niscaya akan sehat) telah bersenyawa dengan pemahaman puasa di bulan istimewa ini. Ibadah puasa, khususnya shiyam Ramadhan termasuk dalam klasifikasi ibadah yang memiliki dua dimensi di atas. Malah, dalam puasa Ramadhan, dimensi sosial menjadi kajian filosofis yang seolah selalu mengalir, mengingat, ibadah puasa sangat kaya dengan berbagai hikmah, baik yang bersinggungan langsung dengan dimensi ragawi (jism), maupun yang bersentuhan dengan dimensi ukhrawi (ruhi). Selain dari aspek ragawi tadi, esensi lain dari puasa Ramadhan adalah terdapatnya pendidikan jiwa (ruhi). Bahkan, dimensi tarbiyah ruhiyah (pendidikan jiwa) menjadi nilai puncak dari tujuan puasa, karena puasa bertujuan mengusung derajat keberimanan kepada tinggkat spesial ketaqwaan. Penerjemahan taqwa semstinya tidak melalu diartikan dalam ruang pelaksanaan ibadah rutin, namun hendaknya juga berorientasi kepada pembenahan realitas sosial.
Maka peningkatan spritualitas puasa merupakan penyuburan rasa empati, karena ketika sorang mu’min menahan segala hal yang halal dalam bentuk makanan, minuman dan seksualitas pada siang hari, seoalah sedang merasakan bentuk penderitaan yang mungkin selama ini dialami oleh golongan yang lemah, miskin dan pinggiran. Sikap yang seolah merasakan derita dan kesengsaraan orang lain tersebut sebenarnya adalah sikap taqwa yang dikonkritkan dalam rasa empati. Dengan demikian, tujuan taqwa dalam puasa itu sebenarnya adalah penajaman kepakaan sosial seorang yang mengaku beriman kepada Allah swt. Karena, orang taqwa itu, hatinya selali hidup dalam pengawasan Allah, yang sekaligus nuraninya selalu peka dan sensitif terhadap kekurangan dan penderitaan orang lain. Maka, ketika seseorang hamba yang berpuasa dengan berorientasi taqwa, sebenarnya ia sedang menyuburkan empatinya kepada sesama. Wallahu’alam. Penerjemahan taqwa yang hanya sebatas ketaatan ibadah rutinitas tersebut, pada akhirnya menyempitkan persepsi keberagamaan Islam. Karena, seolah-seolah taqwa hanya berada dan berkutat pada persoalan hubungan dengan Allah swt. Padahal, dimensi taqwa mencakup seluruh kebaikan yang dilakukan oleh orang beriman, baik kebaikan dalam pengertian taat beribadah, juga kebajikan dalam perspektif berhubungan baik dengan sesama manusia.
Penulis :
Hermanto Harun
*Dosen Pascasrjana UIN STS Jambi & Anggota MUI Prov Jambi