#OPINI
Kehadiran others dalam pemikiran keagamaan bukanlah hal baru. Halbwachs (1992), murid Durkheim, menulis bahwa, identitas pada fase awal Kristiani dibangun dengan mengkonstruksi perbedaan terhadap agama seniornya: Judaism. Menjadi Kristen, berarti meyakini dan menjadi pribadi yang berbeda dengan Yahudi. Bagaimana respons Yahudi ketika itu? Apakah menerima dengan senang hati disebut sebagai ‘asing’, walau lahir dari rahim yang sama? Ataukah respons mereka mirip dengan protes sebagian umat Kristiani untuk digolongkan secara teologis sebagai kafir oleh agama Islam, yang juga lahir dari tradisi yang sama—Abrahamic traditions? Entahlah. Yang jelas, kecenderungan membangun batas-batas antara ‘us’ dan ‘other’ dengan legitimasi teologis bukan hasil temuan baru. Semua absah dalam kerangka agama masing-masing.
Suatu ketika, tahun 2008, aku ‘nyantri’ dua minggu di Institut Teologi Protestan (ITP), Paris. Di asrama mahasiswa, tempat aku menginap, ditempel gambar Pulau Andalas. Pada bagian tengah pulau, yaitu Danau Toba, terdapat keterangan singkat: pusat gerakan misionaris wilayah barat Indonesia. Sebagai orang Sumatra, seorang Muslim, aku termenung menatap gambar itu. Gambar itu sangat ‘berarti’ bagiku.
Selama nyantri disitu, dalam suatu kesempatan, aku berdiskusi dengan dua orang sahabatku: warga Perancis, kulit putih dan calon misionaris, Aku bertanya: ‘apa cita-cita anda setelah selesai kuliah di ITP?’ Dengan penuh semangat, ia menjawab: ‘aku ingin menerangi domba-domba Yesus di berbagai belahan bumi’. Tersinggungkah aku dengan jawabannya? Tentu saja tidak, sebab ia menjawab dalam kerangka teologi Kristiani yang ia yakini. Domba-domba yang tersesat adalah others, dan aku adalah bagian dari domba itu.
Aku bisa saja bertanya, apakah seorang Muslim yang baik, pintar, suka menolong orang, tetap lebih sesat dibanding seorang Kristiani yang korupsi, diskriminatif dan tidak memiliki empati pada penderitaan orang banyak. Namun, aku tak menyampaikannya, sebab itu pertanyaan yang salah kaprah jika maknanya ditarik ke dalam ranah social politik, Membenturkan kategori teologis dengan kategori sosial bukanlah tindakan yang sepadan, karena dikonstruksi dari nilai, tujuan dan keberpihakan yang berbeda. Secara teologis Kristiani, aku yakin bahwa Kristen yang tidak empatik lebih baik dari Muslim yang empatik, sebab extra ecclecia nulla sallus (di luar gereja tidak ada keselamatan). Islam juga mengatakan hal yang sama: hanya Islam agama yang diterima Allah. Dalam kaca mata ini, Muslim yang mencuri dipahami lebih baik dari non Muslim yang jujur, sebab ia berada dalam ‘rumah keselamatan’ (Islam), sementara non-Muslim yang jujur bukanlah penghuni rumah itu. Lantas, apakah aku bisa mengatakan: tidak apa-apa jahat, asal Kristen? Tidak apa-apa jahat asal Islam? Itu kesimpulan yang salah kaprah dan over simplifikasi.
Apa yang membedakan identitas domba yang sesat dengan yang tidak? Definisi teologis yang sangat ekslusif. Dan semua definisi teologis bersifat ekslusif. Apakah ada definisi yang inklusif? Ada. Itulah yang dikonstruksi dan kemudian menjadi komoditas kaum liberal. Ketika definisi teologis sangat inklusif, maka identitas relijius menjadi blur, samar. Religious salience menjadi hilang, diganti oleh identitas baru. Aku bukan lagi seorang Kristen, Muslim atau agama apapun, sebab itu tidak cukup, bahkan tidak layak untuk hidup. Yang muncul adalah (dalam konteks Islam): aku seorang Muslim democrat, Muslim inklusif, Muslim toleran, Muslim moderat. Islam tidak lagi cukup sebagai sumber nilai, bahkan seringkali dibenturkan dengan nilai-nilai baru yang dibawa oleh modernitas. Dalam benturan itu, yang muncul dominan adalah konsep moderat, democrat, inklusif dan toleran. Menjadi toleran dan moderat lebih penting dari menjadi seorang Muslim!
Akhirnya, kembali ke ranah teologis, ada batasan-batasan yang harus dipahami dan disadari, sehingga terhindar dari over simplifikasi dalam mengambil kesimpulan. Walau ada anggapan bahwa banyak ‘pintu’ menuju Tuhan, keyakinan bahwa hanya ‘pintu’ miliknya yang terbuka, sementara pintu lain sedang, dan akan terus tertutup, akan tetap ada dan menjadi core dalam teologi keagamaan. Dengan itu, over emphasis dalam ranah teologis bisa dipahami, dan sebaliknya, tanpa itu, tak perlu ada agama. Wallahu a’lam. (Takzimku yang tulus untuk kiyai-kiyaiku di Gontor, Sydney, 12 Mei 2017).