Ramadhan Penuh Kedamaian
Oleh :
Hermanto Harun, Ph.D*
Gema kalimat tarhib Ramadhan menghiasi setiap ucapan dalam ragam media sosial, sebagai pertanda “sumringah” atas datangnya bulan agung yang penuh hikmah. Sambutan penuh kehangatan terhadap kehadiran Ramadhan merupakan anugerah bagi hati para hamba yang menyadari secara maksimal, betapa puasa yang di wajibkan di bulan Ramadhan tersebut menjadi kesempatan emas dalam berburu hadiah kebaikan dan pahala yang tak terbatas. Bahkan ganjarannya melampaui logika matematis manusia, karena hanya Sang Pencipta yang mengetahui batasan maksimal ganjarannya. Ungkapan ini tercermin dari seuntai sabda Rasul saw yang mengutip firman Allah swt ” al-shaum li wa ana ajzi bihi” ( puasa itu untuk Ku, dan Aku ( Allah) sendiri yang akan memberi ganjarannya). Ungkapan ‘puasa untuk-Ku’ sangat jelas menunjukkan bahwa puasa itu sangat khusus, spesial serta memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak di jumpai dalam amaliah ibadah selainnya. Dalam buku “al Rasul fi Ramadhan” Moh Sayyed Ahmed al Musayyar mengungkapkan beberapa aspek letak keistimewaan ibadah puasa Ramadhan. Pertama; ibadah puasa merupakan bentuk pengagungan kepada Tuhan yang tidak pernah dilakukan oleh orang- orang kafir kepada tuhan tuhan sesembahan mereka. Meskipun mereka sembahyang, sujud dan berderma dalam praktik pengagungan kepada tuhan mereka tersebut. Namun puasa hanya menjadi medium penghambaan kepada Allah semata. Kedua, puasa Ramadhan menihilkan sifat riya, karena keabsahan pelaksanaan puasa tidak di ketahui secara kasat mata kecuali hanya oleh Allah swt yang Maha mengetahui segala yang tersembunyi (ghaib). Ketiga, ibadah puasa dalam praktiknya sebagai penyerupaan kepada sifat Malaikat, dimana manusia tidak makan, tidak minum dan menahan syahwat seksual dalam rentang waktu yang Allah tetapkan. Dari beberapa argumen keistimewaan puasa Ramadhan tersebut, maka di pastikan bahwa jiwa yang fithri, yang sudah terpatri dalam nurani para shoimun, sudah jelas merindukan kehadiran ibadah yang spesial ini. Hal ini karena ibadah puasa menjadi medium interaksi yang sangat rahasia (sirr) antara seorang hamba dengan Penciptanya. Kerahasiaan tersebut di tambah dengan hadiah super mahal berupa nilai dan pedoman kehidupan yang terangkum dalam kitab suci alQur’an. Sehingga rasa gembira sebagai refleksi cahaya iman sudah tentu ceria dengan kehadiran tamu agung yang membawa doorprize yang bahkan lebih baik dari nilai harga kebendaan papapun. Ungkapan kegembiraan itu di uraikan Allah dalam kitab suciNya ” dan sampaikankanlah ( wahai Muhammad) dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan RahmatNya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (QS Yunus, 58).
Kegembiraan menerima ibadah puasa tersebut menjadi cermin ketundukan atas perintah Allah sekaligus pengakuan atas status kehambaan yang tulus. Karena, meskipun harus meningggalkan sesuatu yang halal untuk di konsumsi, tapi dengan meninggalkan kehendak diri ( imtina’ irady) tersebut, berarti ada pengakuan total seorang hamba bahwa setiap perintah Tuhan itu pasti untuk kepentingan dan kemaslahatan hambaNya. Dari itu, setiap perintah ibadah dalam perspektif keagamaan Islam, tidak satupun yang terlepas dari hikmah dan maslahah bagi kepentingan manusia, baik sebagai makhluk Tuhan (‘abd) atau dalan kapasitasnya sebagai makhluk sosial (insan madany). Dalam perspektif kemanusiaan dan kemasyarakatan, ibadah puasa memberi ibrah, bahwa dalam mematuhi perintah Allah, aspek nilai kemanusiaan jelas tidak boleh absen. Seorang ilmuan muslim terkemuka dunia, Yusuf al- Qaradhawi, menyebutkan bahwa aspek krnasyarakatan (hikmah ijtima’iyah) justru menjadi variabel penting dalam berpuasa, karena perintah untuk tidak makan dan minum tersebut bersifat menyuruh, tidak memandang kelas sosial dan kedudukan. Juga memiliki messege tentang empati, agar rasa lapar dan dahaga dirasakan oleh semua golongan. sebagaimana kaum fuqara yang lemah yang selalu akrab dalam kondisi kekurangan. Aspek kemasyarakatan dalam berpuasa itu, mengajarkan betapa faktor empati tersebut diharapkan bisa menjadi embrio dalam melahirkan rasa aman serta harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Dari itu sangat tepat, tatkala melihat Hilal yang menandai telah masuknya bulan Ramadhan, baginda Rasul saw berucap dalam sabdanya; “Allahumna ahillahu ‘alaina bi al-amn wa al- iman wa al- salamati wa al- islam”. Ucapan Rasul ini menegaskan bahwa rasa aman dan keimanan menjadi dua hal yang seiring. Apatah lagi dalam momentum melaksanakan puasa Ramadhan. Bukankah pelaksanaan puasa sebagai implementasi iman bisa lebih maksimal jika dalam keadaan aman? Kata al-iman dan al-aman, dua kosa kata Arab yang memiliki akar kata yang sama, sebenarnya tidak boleh di posisikan dalam posisi yang kontras dan saling bertentangan. Begitu juga dengan kedamaian dengan keislaman yang tidak boleh di iris menjadi potongan pilihan antar satu dengan hal yang sebaliknya. Dalam pelaksanaan ibadah puasa, iman dan aman, kedamaian dan keislaman menjadi dua hal yang saling bersinergi dan saling membutuhkan. Kedua-dua ungkapan tersebut bak pinang dibelah dua, atau seperti kepingan dua sisi mata uang yang saling memberi nilai dan harga. Jadi, sungguh aneh jika ada pola pemahaman dan praktik keagamaan Islam yang menghalalkan pembunuhan terhadap orang yang tak bersalah, atau membuat keonaran, terlebih di saat menyambut Ramadhan. Logika dan kongklusi keagamaan seperti demikan jelas kontraproduktif dengan apa yang disabdakan Rasul, sebagaimana ungkapan beliau tadi. Tentu, orang-orang yang bergembira menyambut Ramadhan mengetahui persis bahwa bahwa prilaku kekerasan, kerusakan apatahlagi sampai bunuh diri, bisa dipastikan mereka itu bukan dari golongan shoimin yang sebenarnya. Jikapun mereka memakai slogan dan simbol pelaku shiyam, sangat diyakini pelaku onar tersebut hanya robot yang remote controlnya sedang berada dakam kendali orang orang yang membenci ibadah puasa. Karena sejatinya, orang yang berpuasa dengan sebenarnya adalah yang mencintai kedamaian. Ramadhan karim..! *Dosen Pascasarjana UIN STS Jambi & Anggota Dewan Riset (DRD) Provinsi Jambi.