Seindah Negeri Firaun
- Tetangga Fir`aun
Suara pintu yang terketuk keras mengagetkan seisi rumah. Pesona langit malam ibukota Mesir yang berkelip bintang seketika sirna begitu saja. Hanya jarum jam yang masih tenang mengarah ke angka sebelas.
“Indunisy, iftah el bab (orang Indonesia, buka pintu)!” sebuah suara yang mudah ditebak.
Badan yang hampir hanyut dalam aliran mimpi itu terpaksa bergerak menjawab panggilan Hilal, pemilik kos yang menagih sewa rumah bulan ini. Belum lebar pintu dibuka, selembar slip kwitansi dihadapkan ke muka Hasan yang sudah pudar dihinggap kantuk.
“Dua ribu pound untuk sewa bulan ini, ditambah biaya listrik dan air lima ratus, yalla idfa` (ayo bayar)!” Tegas Hilal layaknya pemalak. Tampaknya dia tak mau berlama-lama.
“Afwan ya Ammu (maaf paman), bukankah bulan kemaren tidak sampai sebanyak itu, kenapa sekarang berubah?” tanya Hasan meminta kepastian.
“Liat fatura (slip pembayaran) kamu itu! Kalian saja yang boros dengan listrik, sering bergadang semalaman dan asal-asalan memakai air” jelas Hilal sambil menunjuk ke arah kertas kecil itu, tertulis jumlah pembayaran listrik dan air bulan ini.
Sebagai orang baru, Hasan sebetulnya belum tau dari kapan harga sewa melompat tinggi begitu saja. Untuk luas rumah yang hanya muat berempat, jumlah yang senilai dua juta setengah rupiah ini sangat mengikis uang saku, belum lagi kebutuhan lain untuk hidup di negeri orang. Padahal perjajian awal, mereka hanya mengeluarkan sekitar seribu pound Mesir perbulan.
“Kami usahakan seminggu lagi akan bayar lunas, lagi pula hanya kami berdua di rumah” jelas Hasan memohon keringanan.
“Apa katamu… jangan banyak alasan!” telapak tangannya yang besar dan berbulu kasar seketika dihempas ke daun pintu. Ahmad yang sudah terlelap pulas sontak terperanjat bangun.
“Ini belum awal bulan, anda harus tepat janji sesuai akad” suara Hasan meninggi seperti akan melawan.
Dia terpaksa memberanikan diri menghadapi tuan kos yang tak ramah ini, apalagi dua senior rumahnya sedang pulang selama libur kuliah, sementara Hasan dan Ahmad yang masih berstatus calon mahasiswa, harus tetap tinggal di Kairo untuk mengikuti pelajaran di kelas bahasa.
Satu telapak tangan Hilal yang tebal tiba-tiba mengenggam kelopak baju Hasan dengan pandangan tajam berkilat, bulu-bulu di dagunya yang lebat seperti kebanyakan orang arab seakan mengerut bersama dahinya. Telunjuk kiri menghadap tepat di antara dua bola mata Hasan. Napasnya mulai tersengal bersama denyut jantung yang tak beraturan.
“Hastanni yaumain (aku tunggu dua hari)… kamu yang tanggung jawab semuanya” suara pelannya kini membuat isi dada Hasan getar.
***
Hampir setengah jam Hasan hanya duduk diam di atas kursi, ruang kelas pembekalan bahasa Arab yang sedang hening pas sekali untuknya melamun, fikirannya seperti terusik dengan kejadian tadi malam. Sebenarnya bukan hanya urusan uang, namun akhir-akhir ini dia merasa salah memilih Mesir sebagai tujuan melanjutkan kuliah. Seminggu lalu dia juga sempat kecopetan di pasar bahkan ada satu rumah mahasiswa berhasil digasak maling. Seakan di sini tempat berkumpulnya orang-orang jahat. Semua tak sesuai dengan ekspektasi, gumamnya dalam hati.
Duktur Musthofa hanya memperhatikan dari tadi, beliau tidak tampak marah sedikit pun, apalagi dengan Hasan murid kesayangannya yang hampir tak pernah absen pelajaran. Hasan senang dengan guru satu ini. Dia seakan ada di dekat almarhum ayahnya, mungkin karena umur mereka yang sama. Rasanya ingin dia memanggilnya ayah, tapi Hasan tetap menghormati beliau dengan panggilan duktur, sebutan untuk dosen atau guru.
“Adakah orang buruk di negara kalian?“ tanya duktur Mushtofa di tengah kesibukan siswa kelas yang sedang mengerjakan latihan.
“Ada” jawab Malik, siswa kulit hitam dari Nigeria, wawasannya luas, jauh berbeda dengan rambutnya yang pendek keriting tak sampai satu senti. Temannya yang lain mulai ikut bersuara dengan jawaban sama.
“Adakah orang orang jahat di Makkah… Eropa… atau Amerika?” lanjut duktur.
Hasan terlihat ingin angkat tangan namun ragu untuk berucap. Semua sejenak diam berfikir dan menunggu lanjutan dari duktur.
”Setiap tempat akan selalu diisi orang baik dan buruk, namun perlu kalian ingat! tidak benar ketika menemukan orang buruk, kita menganggap semua orang sekitarnya ikut buruk juga” lanjut beliau.
Semua terlihat mengangguk setuju. Terlebih lagi Hasan, karena itulah yang dia dan beberapa wafidin (pelajar luar negeri) rasakan akhir-akhir ini, merasa tidak nyaman dengan penduduk pribumi. Duktur mulai menghadap ke arahnya.
“Bagaimana pendapatmu Hasan tentang orang Mesir?”
Hasan melotot kaget, sesekali Ia melirik kanan kiri, bingung apa yang akan dia kata, sepertinya duktur salah melontarkan soal itu padanya. Haruskah dia sampaikan seperti yang ada di benaknya untuk pertanyan ini. Rasanya tidak pas juga, apalagi duktur asli warga Mesir, takut kalau-kalau sampai menyinggung perasaannya.
“Selama yang saya tau, orang Mesir lah yang paling jahat.” jawab Hasan dengan suara lemas.
“Kamu serius.. “
Betul dugaannya, beliau akan kaget. Dilihatnya semua siswa dari setiap sisi mulai menoleh serius ke arahnya. Dahi duktur perlahan mengerut seperti jeruk purut.
“Ya… begitulah adanya… tapi untunglah orangnya sudah meninggal.”
”Siapa? “ duktur Musthofa semakin dibuat penasaran.
“Firˋaun duktur…” jawab Hasan santai.
“Ha ha ha” tawa duktur pecah. Kelas yang baru saja diam membeku seketika lebur seperti es batu disiram air panas, meski fikir Hasan itu tidak lucu. Dia ikut-ikutan saja tertawa kecil melihat kawan-kawan sekelilingnya. Namun dari situ jiwanya kembali tegak. Suasana kelas ini memang bisa menyusun embali bangunan semangatnya. Hasan memandang mereka yang datang dari beragai negara, suku dan warna yang beragam, serta bahasa yang berbeda sejauh timur dan barat, namun semua bisa duduk bersama dibawah sebuah nama yang agung, sebagaimana ajaran agama.
“Kalian pasti tahu tentang Fir`aun dan Nabi Musa, mereka hidup di Mesir ini ribuan tahun yang lalu. Lalu mengapa Allah mengutus Nabi Musa dan saudaranya kepada Fir`aun?” duktur lanjut bertanya.
“Tentu saja untuk menghancurkan kekuasaan Fir`aun yang kafir sampai mengaku tuhan” jawab Hasan.
“Betul, kalaulah dia ada sekarang, sudah aku injak orang itu” celetuk Fawaz dari thailand lalu berdiri memperagakan sedikit jurusnya. Dia lebih mirip pemain film Ong-bak. Anak-anak jadi tertawa melihat tingkahnya.
“Ya awladi (anak-anakku)…, kalian pasti pernah membaca kisah itu di surat Thaha. Lihat apa yang disampaikan kepada Nabi Musa dan saudaranya Nabi Harun, mereka diminta pergi kepadanya untuk memberi teguran, namun dengan cara lemah lembut, agar dia sadar dan mulai takut pada tuhan yang sebenarnya. Allah itu Maha Pengasih, bahkan ketika Dia menyebutkan kata benci dan semacamnya, maka yang disandingkan ialah sifat atau perbuatan bukan pada dzat orangnya,”
Fikiran Hasan seketika melayang ke Hilal, orang yang selama ini membuatnya tertekan, walaupun dia tuan kos dan tetangganya sendiri. Namun betul kata duktur, tak semestinya dia begitu benci, lagi pula siapa dia dibanding Nabiyullah Musa. Bahkan Islam sama sekali tak membenarkan itu pada siapapun. Dia pasrah saja, berusaha membuang pandangan buruknya itu, meski selama ini dia seakan bertetangga dengan Fir`aun.
- Humaira
Bis merah sudah stand by di pinggiran stasiun, bersiap untuk membelah jalanan kota Kairo yang sesak, mengantar warga negeri piramida ini ke sektor masing-masing. Sayup-sayup angin pagi di penghujung musim semi masih berhembus lembut di tengah bumbung asap-asap knalpot. Ahmad duduk santai di samping jendela bis, tempat yang paling dia suka. Dia melempar pandangannya ke luar, menyaksikan orang-orang berangkat kerja, petugas kebersihan, polisi yang berjaga dan mahasiswa yang sudah mulai bergegas menuju kampus dengan berpakaian rapi.
Mentari semakin memancar sinar dari berbagai celah antara gedung-gedung coklat berselimut debu, layaknya bangunan Timur Tengah. Seperti biasa, Hasan dan Ahmad setiap pagi harus berangkat ke kampus kelas bahasa Arab yang sekitar tujuh kilometer dari stasiun. Hasan dari tadi hanya menatap kosong ke depan. Beberapa hari ini dia tampak lebih pendiam.
”Mad, bulan ini aku pinjam lagi ya, kirimanku bulan ini belum sampai, boleh kan…” pinta Hasan dengan perasaan tidak enak.
“Ahlan (silahkan)… tentu saja San. Tapi masa cuma gara-gara itu kamu jadi gak bersemangat kayak biasa”. Hasan menghadap ke ahmad seperti menahan air mata haru. Memang Ahmad selalu membuka tangan pada kawannya ini, orang tuanya juga bukan orang biasa.
“San, dimana Humaira…” Ahmad memancing Hasan agar kembali cerah. Dia hanya membalas dengan tawa kecil sambil melihat ke arah depan, seperti mencari seseorang.
“Mungkin bentar lagi datang” jawab Hasan sambil tersenyum.
Sebenarnya itu nama yang dibuat-buat Hasan saja, diapun juga belum pernah bertanya langsung. Mungkin karena ada kesamaan dengan makna nama itu, yang berasal dari ahmar, yang berarti merah.
***
Hasan tak pernah lupa dengan kejadian di bis bulan lalu, yang membuatnya selalu datang lebih awal. Di pagi yang sama, saat dia sibuk membalas chat dari ibunya yang di kampung, dilihatnya wanita Mesir berdiri tepat disamping dia duduk, bersama penumpang lain yang tak dapat kursi. Bis sudah mulai melaju. Seperti biasa Hasan langsung berdiri dan mempersilahkannya duduk. Memang telah menjadi adat kebiasaan warga sini mendahulukan perempuan atau orang disabilitas untuk memakai kursi bis. Adapun laki-laki yang masih tegap lebih memilih berdiri, meskipun pegal, kadang juga sesak oleh ramainya penumpang. Namun disitu ada kepuasan tersendiri.
“Itfadhdholi (silahkan) duduk ustadzah…” tawar hasan dengan sopan.
“Khallika khallika, tidak apa-apa duduk saja…” dia tampak menolak seakan tak mau merepotkan, sepertinya dia ramah pada pelajar asing.
Hasan kembali duduk, namun rasa tidak nyaman mendorongnya kembali berdiri. Ada yang lebih berhak. Kadang Hasan berfikir kalau dialah yang merepotkan, karena sebagai pendatang, dia harusnya lebih sopan.
“Afwan, saya tidak enak untuk duduk, sebaiknya anda yang wanita saja, lagi pula saya bentar lagi akan sampai” kali ini Hasan tak peduli lagi dengan kursinya.
Namun dia kembali menolak dengan senyum yang sopan dari dalam kerudung putihnya, yang membuat Hasan seketika melepas pandangan, dari model kemeja dan rok panjang, tampak dia seorang siswi setingkat SMA. Dalam hati Hasan berdo`a agar setengah halaman Al-Qur`an yang baru dihapal setelah shubuh tak hilang begitu saja. Satu kursi ditinggal kosong beberapa menit. Dengan bergegas seorang kakek menghampiri mereka seperti ingin menengah.
“Boleh aku saja?” tanya beliau sambil menunjuk ke arah kursi.
“Iya, silahkan…” jawab Hasan dan Gadis ini serentak. Suasana sekejap hening sambil saling pandang antara mereka berdua. Terlihat pipinya sedikit kemerahan dibawah sinar pagi. Hasan baru sadar kalau ada merah yang lebih lembut dari warna bis ini. Entah mengapa fikirannya terbang ke cerita sayyidah Aisyah istri Nabi. Alam fikiran Hasan seketika punya nama sendiri untuk gadis ini, Humaira.
“Alhamdulillah… kalian berdua memang anak baik” ucap kakek memecah hening. sambil membenarkan duduk lalu mengacung dua jempol. Dari jas dan dasi yang dipakai, beliau terlihat seperti seorang dosen atau orang kantoran.
“Enta minen (kamu asal dari mana)…” tanya beliau pada Hasan
“Ana Indunisy.. (saya orang Indonesia)”
“Ahsan nas… kita itu begini (sambil menyatukan erat dua telapak tangannya), bersaudara dari dulu…, kamu dan kamu (tangannya menunjuk ke hasan dan si Humaira) mesti serius belajar, kalian harapan kami orang-orang tua” ucapnya dengan nada optimis.
Hasan hanya tersenyum tipis melihat kakek ini, tapi Ia jadi tersipu malu ketika mulai jadi sorotan beberapa pelajar Indonesia dan penumpang yang ada di bis. Terdengar sesekali siulan dan suara `cie` yang membuatnya tentunduk malu. Humaira juga tampak menahan senyum yang langsung dia tutup dengan dua telapak tangan.
***
“Namun sepertinya hari ini dia tidak ada Mad, padahal lima menit lagi bis akan melaju” perkiraan Hasan dengan nada pasrah.
Pandangan Hasan mengarah ke pinggiran jalan. Dilihatnya seorang ibu bersama anak di pangkuannya menanti sukarela orang. Tak lama berfikir, dia turun dari bis bersama beberapa receh yang tersisa dalam saku. Semoga saja ini menjadi satu pintu rezeki. Ahmad hanya melihat dari jendela lalu matanya kembali ke hape, satu ransel dibiarkan di kursi Hasan agar tidak ditempati orang.
Dipandangnya wajah ibu itu yang sedari tadi bertahan di bawah panas. Anaknya yang kecil memandang Hasan dengan penuh harap. Perutnya seperti masih kosong dari malam. Hasan merendahkan badan lalu mengulurkan sedikit uang yang dia genggam.
Belum uang itu sampai pada si ibu, tangan Hasan terasa ditepis. Beberapa receh terpelanting berceceran bersama dua lembar uang kertas, tangan kirinya reflek memengang pergelangan kanan yang sakit. Sang ibu tak paham apa yang sebenarnya terjadi, si kecil hanya menangis kencang. Dari bawah, Hasan melihat sepatu dan celana levis yang tak asing. Perlahan dia mengadah ke atas, betul dugaanya. Tapi dia heran, apa urusan orang ini sekarang.
- Mengapa Bukan Dia
“Apa maksud anda seperti itu” protes Hasan yang tidak terima dengan sikapnya.
“Aku hanya lewat saja disini, tapi karena aku liat kamu…” jawab Hilal dengan senyum remeh yang membangkit kesal.
“Leeh (kenapa)… apa karena urusan kemarin…”
“Aku tidak senang saja kamu sok baik, seperti orang dermawan saja, bayaran kamu itu masih belum lunas, emang boleh sedekah pake uang hutang… dasar kalian anak malas. Namanya saja sekolah di Al-Azhar…” jelas Hilal dengan gaya sok tau.
“Jangan asal bicara, anda tidak berhak mengurus saya” suara Hasan lebih meninggi, dadanya seakan tersuluh api, tak terasa tangannya mulai mengepal erat
Kesal itu bertambah ketika sebagian ucapan Hilal begitu saja diterima oleh batinnya. Memang bulan-bulan yang lalu dia bagai ayam lapar di lumpung padi. Motivasi untuk belajar Islam dari tangan ulama besar sangat pudar. Matahari kadang dia samakan dengan bulan. Bahkan baru akhir-akhir ini Hasan saja Hasan menghadiri halaqah Ilmu di Masjid Al-Azhar. Namun dia perlahan berubah meski dengan usaha yang tak mudah, harus dimulai dari diri sendiri, dari sekarang dan dari hal terkecil. Tapi bangunan tekad yang mulai tegak itu malah kembali lebur.
“Ha ha… sudah pulang saja ke negara kamu, lagi pula aku liat kalian kerjaannya hanya jalan-jalan menghabisi uang orang tua.”
Tak perfikir panjang, kepal tangannya mengarah tepat ke dada Hilal, namun itu dianggap angin lewat oleh badannya yang kekar berisi. Dia cukup mengacung tangan ke depan, seketika dua kawannya bertindak. Serangan dari dua arah dapat dihindar Hasan. Ilmu silatnya yang dari kampung lumayan hebat. Namun tiba-tiba satu pukulan datang dari Hilal tepat di pipi kanan. Hasan kehilangan daya. Langsung saja tendangan keras Hilal membuat dia terdorong jauh, lengan kanannya terbentur tiang listrik hingga terdengar dengung.
“Aaah…” Hasan tak kuasa menahan sakit.
Mendengar suara temannya, Ahmad menoleh ke jendela, berlari keluar secepatnya bersama ransel milik Hasan. Beberapa penumpang ikut bergegas turun ketika merasakan yang tidak beres. Melihat orang ramai, cepat saja Hilal dan dua kawannya berlari. Sekencang kilat mereka memacukan motor dari kejaran pelajar asing dan orang-orang Mesir.
Badannya terkulai lemas dengan darah yang mulai mengalir dari pipi. Dia masih melihat Ahmad bersama orang ramai sekelilingnya. Disela-sela kerumunan tampak seperti Humairah yang baru hendak masuk ke dalam bis dengan raut wajah heran akan apa yang sedang terjadi. Pandangan Hasan perlahan kabur, semua suara juga ikut menghilang. Entah ke alam mana dirinya melayang.
***
“Ini tidak terlalu parah, memang ada sedikit retak di lengannya, dia di sini saja dulu selama tiga hari, meski perlu sebulan untuk betul-betul sembuh”
“Baik dokter, saya titip Hasan” Ahmad pamit pergi.
Hasan mulai menggerakkan jari-jarinya. Matanya perlahan terbuka setelah mendengar percakapan singkat barusan, dilihat satu lengannya seperti dililit kain putih. Dia berusaha duduk menyenderkan punggung, namun tangannya bertambah perih.
“Eh, kamu istirahat saja, jangan terlalu banya gerak.” cegah Ibu dokter.
“Ini di mana?.”
“Rumah sakit, kamu tadi pingsan lalu dibawa ke sini. Sudah tenang saja, beberapa hari kedepan aku yang akan disini merawatmu” jelas dokter menenangkan, Hasan sejenak terdiam.
“Tadi temanmu pulang. Sebenarnya dia mau menemani, tapi aku bilang kalau kamu aman disini. Dia hanya menitipkan ransel.”
Tak terasa hari mulai gelap. Ini pertama kali baginya menginap di rumah sakit selama di Kairo, bahkan selama hidupnya. Hampir malam ini dia tidak tidur setelah seharian tak sadarkan diri. Suasana rumah sakit tak ada enaknya sama sekali, kadang tercium bau obat-obat yang menusuk hidung. Besoknya Hasan lebih banyak tidur walau tak nyenyak. Sesekali dia dibangunkan lalu diberi makanan mesir dan obat, walau belum terbiasa tapi perutnya memaksa itu. Mungkin kali ini dia harus lebih bersabar. Hasan merasa bersalah tidak mengikuti nasehat duktur Musthofa.
Selepas shubuh, rumah sakit terasa lebih sunyi. Dibukanya ransel yang hanya berisi buku diktat kelas bahasa dan Kitab nahwu Syarh al-Ajurumiyah li asy-Syaikh Khalid Al-Azhary, kitab gramatikal Arab yang Ia ikuti kajiannya di Masjid Al-Azhar. Tak lupa di saku baju selalu dia bawakan mushaf kecil, kadang dimasukkan ke kantong ransel agar waktunya tak berlalu sia-sia.
Seperti biasanya, dokter sesekali datang memeriksa lalu menanyakan keadaan pasiennya ini. Kadang beliau berlama duduk di ruang inapnya ketika Hasan membaca Al-Qur`an. Dia juga heran apakah karena suaranya merdu atau kenapa, tapi kawan-kawannya pernah berkata demikian dan tajwidnya juga lumayan. Sekitar menjelang zuhur, Hasan lanjut mengulang hafalan Al-Qur`an, dokter datang seperti biasa.
“Ismik eh (nama anda siapa)?” tanya Hasan setelah menghentikan bacaan, dokter langsung menoleh.
“Ana (saya) Maria, asli orang mesir.”
“Anda tinggal di Kairo ya?” tanya Hasan basa-basi sekaligus menghilang rasa bosan
“Na`am (iya), sekarang saya di kairo tapi asalnya dari kampung, jauh di sebelah selatan sana. Sesekali saja aku pulang.”
Hasan kagum dengan Bahasa Arabnya yang fasih, memang bahasa Mesir berbeda dengan Arab, Bahasa arab adalah Bahasa Al-Qur`an, Hadits dan kitab-kitab ulama. Sekarang bahasa Arab yang fasih itu hanya dipakai di mimbar-mimbar, acara resmi atau di tulisan-tulisan saja. Adapun bahasa sehari-hari, orang-orang di negara Arab, baik Mesir, Saudi, Yaman dan lainya punya bahasa ammiyah (pasaran) masing masing.
Ketika kembali menoleh ke arah dokter, Hasan tiba-tiba kaget melihat gambar salib kecil di pergelangannya, tapi dia tidak mau berlama-lama heran.
“Maaf, apa anda muslim?” tanya Hasan sopan.
“Oh, bukan. Saya orang Kristen koptik, dulunya agama utama di Mesir sebelum datang Islam, begitu juga keluarga saya” jawabnya dengan senyum.
Hasan mengangguk diam sambil memijit dahi. Namun dia sadar kalau surat Al-Maidah yang baru dibacanya itu sangat jelas sekali menyalahkan kepercayaan orang Nashrani. Hasan merasa bersalah, karena dia yakin sekali dokter Maria faham dengan makna ayat itu, apalagi beliau cukup lama mendengarnya, bahkan sesaat tampak matanya menggenang air.
“Besok kamu sudah bisa pulang meski perlu periksa lagi, biar aku yang mengantar.” tawar dokter.
“Memang anda tau rumah saya?” tanya Hasan antara senang dan bingung.
“Kamu kan tinggal di dekat kanisah (gereja) tua itu, tak jauh dari tempat kami, bahkan aku kadang melihat kamu bersama temanmu”
Hasan makin heran, tapi syukurlah ternyata ibu dokter adalah tetangga sendiri. Tapi ada secuil kesal yang terselip dalam relung perasaannya, mengapa orang yang tak percaya dengan Nabi Muhammad yang malah memberinya perhatian, apa karena ajaran `kasih` agamanya. Orang Islam harusnya lebih pantas di posisi ini. Mengapa bukan Hilal saja yang seperti beliau, mengapa bukan dia. Pertanyaan itu masih menggantung pada Hasan. Karena baginda Nabi adalah yang terdepan dalam kasih sayang, sampai Allah menyebutkan “Tidaklah engkau (Muhammad) diutus melaikan rahmat (kasih sayang) bagi sekalian alam.”
- Malam Terakhir
Jarang bagi Hasan menyaksikan gemerlap kota Kairo saat malam. Jalanan disiram oleh warna-warni lampu toko dan sinar papan reklame yang masih hidup menggantikan bintang yang redup. Dokter Maria dengan santai menyetir mobil menyusuri tiap ruas jalan hingga sampai di sebuah imaroh (apartemen). Dari bawah, bangunan ini tampak sederhana, hanya saja lebih bagus dari tempat Hasan tinggal. Syukurlah beliau tinggal di lantai dua, sehingga Hasan tak perlu banyak menaiki anak tangga.
Mereka di sambut paman Aria, suami dokter yang sepertinya dari tadi sudah menunggu. Beliau juga tampak ramah. Dilihatnya rumah mereka tidak terlalu luas, namun tampak mewah. Paman mengajaknya menuju ruang tengah, langsung saja dia disambut dengan hidangan khas Mesir, aromanya seketika menancap ke dasar lambung, seakan tak sempat lagi singgah di hidung. di satu sudut ruangan terlihat sebuah salib dengan ukiran rapi, juga tampak kitab suci di antara deretan buku. Hasan malah jadi cemas, takut kalau ternyata ada maksud lain.
“Aku senang sekali kalau ada pelajar luar negeri yang bertamu ke rumah, apalagi Mahasiswa Al-Azhar. Kamu asal dari Indonesia ya? Sepertinya kamu baru disini…” tanya paman.
“Iya paman, saya baru setengah tahun di Mesir.”
“Ayo Ayah, kita makan dulu, sebelum makanannya dingin” ajak dokter dengan ramah.
Rasanya tak sabar lidahnya mencicip masakan ini, perutnya dari tadi terus berontak. Tapi tangan Hasan masih ragu untuk bergerak, ada sesuatu yang dirisau, namun dokter sepertinya faham.
“Tak perlu cemas, kami belanja semua ini di pasar dekat masjid itu. Ini semua halal, kalian juga sering belanja di sana.”
Perlahan Hasan tampak lebih tenang, dia lantas berucap syukur ketika matanya masih melihat nasi, karena orang Mesir biasa makan isy sebagai makanan pokok, sejenis roti khas timur tengah. Lidah Hasan mulai basah, ternyata rasa tak kalah dengan aromanya, meskipun masakan Mesir lebih banyak asam dan tak terlalu pedas, berbeda dengan yang dia rasa saat di kampung.
“Paman ternyata pandai masak juga ya… ajarilah saya bagaimana masak enak” Hasan mencoba ber-mujamalah (basa-basi) walau asal tebak, tapi fikirnya pasti paman yang masak, karena dokter Maria dari tadi sibuk bertugas di rumah sakit.
“He he, saya cuma bantu saja, tapi kalau untuk makan, jangan tanya…” Paman membalas dengan tawa kecil.
“Lah, di mana Khansa, apa sudah terlelap?” tanya dokter lalu berjalan ke dalam kamar.
“O ya, tadi masih belajar” jawab paman singkat.
Pandangan Hasan masih fokus ke piring di depannya. Dahinya kerut berfikir bagaimana menghabiskan setengah ayam panggang utuh ini. Lambungnya tak terbiasa dengan ukuran ini. Dokter datang dengan seseorang. Dia langsung duduk di satu kursi sebelah paman. Hasan mulai menoleh, matanya menyipit dan sesekali diusap dengan jari, memastikan seorang yang sekarang ada di hadapannya. Batinnya seketika berucap kaget,`Humaira!`.
“Ini anak kami satu satunya, dia memang lebih suka membaca sejak kami pindah ke Kairo sampai sekarang kelas dua tsanawy (SMA). Namanya Khansa, dialah yang masak semua ini” terang paman dengan bangga.
Gadis ini mengembang senyum, tak ubahnya seperti yang Hasan jumpa di bis. Dia tak kuasa berlama, langsung saja pandangannya berputar ke piring. Hasan senang dengan nama yang baru ini, meski wajahnya sudah lama dihapal.
“O ya dokter, sebenarnya saya pernah bertemu Khansa, tapi saya sering melihatnya berhijab” Hasan seperti bertanya.
“Iya, dia juga pernah cerita tentang kamu, bahkan dia yang meneleponku ketika kamu pingsan, lalu aku datang membawamu ke rumah sakit. Betul kan Khansa..”
Khansa mengangguk senyum, Hasan jadi terasa malu ketika tau selama ini dia juga diperhatikan.
“Sekarang ini kami hidup di lingkungan orang-orang Muslim, kami terbiasa dengan gaya hidup mereka. Aku dan Khansa pun mulai senang berpakaian tertutup ketika keluar rumah. Aku juga mulai paham kalau ajaran islam itu indah. Kami tak pernah lupa dengan orang sekitar yang baik pada kami, termasuk guru-guru kalian, meski kami bukan Muslim” Lanjut dokter sambil memandang ke anak gadisnya.
“Kita kan memang dituntut baik pada siapa saja… dalam pergaulan, ikatan kemanusiaan semestinya didahulukan dari beragama” jelas Hasan singkat seperti tak mau melebihkan satu sisi.
Sebuah malam yang indah bagi Hasan karena mendapat keluarga baru di tengah hiruk-pikuk tanah rantau. Namun ada serak di saluran perasaannya, saat Hasan tau ternyata dia berbeda akidah, meskipun malam ini dia masih mengenakan hijab. Dia tampak selalu sopan dengan laki-laki Muslim. Tapi Hasan tak mau dibawa larut oleh rasa yang tak jelas, lagi pula siapa dirinya, ucap Hasan membatin. Tak terasa seisi piring mampu juga dibuat habis.
“O ya Hasan, terima kasih sudah bertamu kemari, sebenarnya kami sekeluarga akan pulang. Sekarang sudah libur musim panas, mungkin juga ini malam terakhir kami di kairo. Khansa juga akan lanjut sekolah di kampung kami sana. Dan juga… kamu tak perlu risau lagi akan tuan kosmu, kalian sekarang lebih aman.”
“Betul kah… kenapa…”
“Dia sudah ditangani kepolisian. Selain masalahnya dengan kalian, dia juga terlibat pemakai dan pengedar narkoba. Memang bukan cuma kalian yang dibuat resah. Aku sudah lama tau akan itu, tapi tidak terlalu mau ikut campur.”
Ternyata bukan hanya pada lidah bercampur baur semua rasa. Di satu sisi dia begitu senang dengan kabar baik, namun saat itu juga dia tak lagi berjumpa Khansa, padahal Hasan baru saja menganggapnya teman, tempat dia bertanya tentang Mesir. Namun Hasan pasrah, dia harus melupakan hari-hari yang berlalu, membiarkannya hanyut pada aliran sungai bersama selembar surat yang diselip di ransel Hasan beberapa hari lalu.
- Anggap Saja Angin
Menjelang azan Ashar, berbagai sisi masjid tampak ramai oleh para pelajar yang duduk khusyu` memegang kitab, mengisi ruang-ruang bersekat ukiran kayu yang disebut ruwaq. Di setiap ruang, duduk seorang syekh di hadapan para murid. Tampak dari raut wajah mereka jiwa yang tegar seperti Masjid dan menara Al-Azhar, tempat mulia yang disebut-sebut kiblat ilmu itu. Ia begitu berarti di hati orang-orang yang tahu arti dan sejarahnya. Tak heran pelajar dari belahan bumi berkumpul, mendalami Islam yang rahmat di bawah tangan para ulamanya.
Dari celah-celah satu sekat ruwaq, terlihat duktur Mushtofa tengah mengajar kitab Al-Hikam, kitab yang berisi untaian bait-bait hikmah penuh makna dari Ibnu Athaillah As Sakandari, seorang sufi legendaris dari Alexandria, Ia ialah satu diantara kitab tashawwuf yang fenomenal, dimana kitab itu menunjukkan bagaimana islam mendidik akhlak, sikap dan menata jiwa.
“Silahkan jika ada yang mau bertanya” Tanya Duktur sebelum menutup kajian siang ini, di posisi sekarang, beliau lebih sering di panggil syekh.
“Yaa Syekh… saya pernah baca semua isi kitab ini, tapi ketika antum yang menerangkan, saya merasa ringan dan lebih mendalam, bahkan satu baris punya penafsiran yang luas” jelas seorang yang duduk disamping Malik, sepertinya mereka berteman dekat.
“Awlady (anak-anakku)… ilmu itu apa yang tersimpan di dalam dada, bukan sekedar yang tertulis dengan tinta. Kamu boleh baca semua buku, tapi itu belum menjadi ilmu. Bedakan ilmu dengan wawasan. Ilmu itu metode dan alat, sementara bacaan kalian dari sana-sini itu wawasan atau pengetahuan. Ilmu tak didapat tanpa konsisten dalam berguru. Maka yang membedakan keilmuan Islam dengan yang lain ialah rantai sanad, artinya besambung dari guru ke guru hingga sampai pada mu`allimu-l-basyar Rasulullah SAW.” jelas beliau dengan senyum sejuk.
Hasan terlena akan semua penjelasan duktur Mushtafa. Hampir matanya tak berkedip dari awal kajian, padahal niatnya kemari hanya ingin bertemu dengan beliau. Hasan sengaja pulang paling Akhir setelah memastikan semua tak lagi di sana. Duktur sudah faham akan maunya, seperti janji pagi tadi di kelas Bahasa.
Hasan memperlihatkan selembar surat. Beliau merebahkan punggung di sandaran kursi. Kacamatanya kembali dipakai, duktur membaca setiap kalimat dengan santai. Hasan mulai diminta membacakan pada beliau apa yang dia fahami dari isi surat.
“Bagus… kamu ternyata lebih faham, kenapa harus tanya lagi ke saya…” ucap duktur sambil mengambil satu tegukan air putih dari atas meja.
“Cuma ingin meyakinkan, takut kalau salah faham, lagi pula saya kan belum terlalu bagus bahasa Arabnya” jelas hasan merendah.
“Dari siapa ini… Khansa…” ucap duktur setelah melihat halaman belakang surat.
“Eh, yang itu bukan” Hasan kaget dan langsung mengambi surat dari beliau, berusaha menyembunyikan rahasianya yang gagal.
“Yang penting bukan Fir`aun duktur, he he” sambung Hasan dengan sedikit cemas.
Tampak senyum tipis dari duktur. Hasan mengusap keringat dingin dari dahinya. Dia membalas dengan senyum hormat lalu segera pamit pergi.
***
Perahu-perahu kecil berlayar pelan bersama hembusan angin. Ombak halus bergerak membias sisa cahaya pada permukaan air. Sebuah senja yang indah dari jembatan panjang yang membelah aliran sungai Nil. Ahmad masih sibuk mencoba kamera baru, hampir semua sudut telah dia potret.
“Hadap ke sungai, senyum dikit.. bagus, satu dua” ckrek, Hasan kali ini pasrah saja gambarnya ditangkap lensa baru Ahmad dari jarak jauh, meski dia tak terlalu hobi dengan foto.
Kertas putih bertulis arab itu dikeluarkan Hasan dari dalam ransel. Dihadapkannya sejajar dengan aliran air.
“Mad, bisa fotokan pas suratnya jatuh…” suara Hasan membuat Ahmad kembali menoleh.
“Jangan lah shodiq (kawan)! Itukan dari pacarmu, ” cegah Ahmad dengan tawa menggoda.
“Eh eh, sembarangan aja kamu Mad”
Ahmad kembali melanjutkan proyek fotograpy-nya. Kali ini dia mengarah ke perahu-perahu kecil di tengah sungai. Hasan masih memandangai tiap baris surat yang terbias senja, sambil dia membaca sendiri terjemahnya dalam hati.
Terima kasih sudah membantuku…
Kenalkan aku Khansa, lahir di antara keluarga Kristen koptik. Ketika kecil, kami dikejutkan dengan sebuah musibah. ledakan bom di gereja kami membuat beberapa keluarga dan temanku meninggal. Sedihku perlahan tumbuh menjadi benci dengan nama Islam. Namun semakin dewasa fikiranku mulai terbuka dan ingin mencari ketenangan batin yang terusik oleh dendam. Hingga akhirnya aku pindah ke kairo mengikuti ibu. Di sini aku mulai mengenal beberapa guru di Al-Azhar, mereka baik sekalipun tau kami ini beda akidah, bahkan tak sedikit kami diberi bantuan ketika dulu masih susah.
Hingga terakhir aku bertemu anak muda dari negeri mayoritas agama Islam, namun di sana kaum minoritas damai dan tentram. Pertama aku lihat kamu begitu sopan di hari itu. Aku paham mengapa kamu mengalihkan pandanganmu dariku. Kamu juga murah memberi, meskipun kamu diperlakukan buruk oleh orang. Apalagi ketika kamu iba melihat ibu dan anak yang juga nasrani sepertiku. Aku kagum.
Selembar kertas itu melayang perlahan ditiup angin ke arah permukaan sungai, Ahmad hanya melihat Hasan dari jauh yang tampak biasa. Dia sempat berfikir Hasan akan menetes air mata sedih setelah ditinggal gadis Mesir itu.
“Khansa… terimakasih kamu menyemangatiku untuk serius belajar, tapi aku tidak bisa jika fikiranku masih membayangkanmu. Suratmu sudah lebur dan lenyap, namun aku yakin, ada doa diantara deretan huruf-huruf yang kamu tulis. Ia tak akan lusuh, seperti Nabi Musa kecil yang pernah dititipkan pada aliran di sungai ini” ucap Hasan pelan pada hembusan angin.
Hasan mengembang senyum menikmati pemandangan sungai Nil di bawah mentari senja yang tinggal sejengkal. Sungai panjang ini rupanya belum menghanyutkan kenangan singkat lika-liku hidupnya di negeri ini. Kembali fikiran Hasan melayang pada hari-harinya di bis, pelajaran di kelas bahasa, apalagi kegiatan ilmu yang berkesinambung di Al-Azhar, semua telah menyatu dalam kata indah. Sehingga Hasan tidak perlu bingung ketika suatu saat ditanya Khansa tentang indahnya Islam, Islam yang mengajarkan kasih sayang itu seindah negeri Fir`aun, bahkan tentunya lebih dari itu. Dia yakin tak mampu melupakan tempat ini, apalagi setiap teringat baris-baris terakhir surat Khansa.
Mesir itu padang pasir, tapi kamu bisa menemukan jutaan permatanya di Al-Azhar.
Aku hanya berharap andai saja suatu saat ada seorang yang mengajari aku Islam, lalu membimbingku syahadat dan shalat… semoga Hasan bersedia, ketika sepenuhnya diriku jadi miliknya.
Maaf, kalau kata-kataku mengganggumu anggap saja itu angin.
TAMAT.
Cerpen oleh : Andri Ramanda