Sepenggal Cerita di Hari pergolakan
Senin ini saya memberanikan diri untuk keluar rumah. Ini merupakan pertama kalinya saya keluar rumah setelah menjadi “tahanan rumah” selama pergolakan Mesir. Visa yang sudah kadaluarsa pada 3 Januari kemarin membuat saya memilih untuk tidak keluar rumah dulu dengan alasan banyaknya penangkapan dan keamanan diluar yang tidak menjamin, apalagi tidak memiliki visa.
Bukan karena malas antrian di kantor imigrasi Bu’uts, tapi lebih kepada tidak memiliki waktu untuk memperpanjang visa selama masa ujian di bulan Januari kemarin.
Setelah mendengar kabar dari salah satu teman Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir) yang mengatakan keadaan diluar cukup aman ketika siang hari, saya mencoba untuk mengurus visa dan kebutuhan kuliah saya sebelum dievakuasi, bermodal passport dan kerneh (kartu mahasiswa).
Jalanan masih sepi pada pagi itu walaupun angkutan umum dipenuhi penumpang, mungkin dikarenakan belum banyaknya angkutan umum yang beroperasi. Tank-tank dan tentara Mesir dengan bayonet kebanggaan mereka tampak disetiap persimpangan dan daerah keramaian. Alhamdulillah tidak ada kendala apapun sampai di Dirasah, salah satu lokasi Universitas Al-Azhar.
Tetapi ada yang mengejutkan sesampainya di kampus. Kampus masih sepi dari wafidin (mahasiswa asing) selain Indonesia, tapi disana ada puluhan mahasiswa asal Indonesia dengan berbagai kepentingan kuliahnya.
Ohya, tujuan saya ke kampus adalah untuk mendapatkan tasdiq (syarat untuk mengajukan visa) yang harus diambil diperkuliahan masing-masing. Setelah sabar antrian sambil berdiri dari 09.00 pagi hingga pukul 14.30 siang waktu setempat, saya harus puas dengan membayar biaya tasdiq saja, tanpa mendapatkannya. Leletnya pegawai terkait dan antrian yang membludak serta tidak jelas membuat saya hanya bisa bersabar, sabar sebab esok masih bias diurus lagi, mudah-mudahan.
Pulang dari kampus dengan perasaan yang tidak jelas. Urusan yang tertunda dan berita adanya pemeriksaan dijalanan menimbulkan kekhawatiran, khawatir visa akan dipermasalahkan ketika pemeriksaan.
Disekitar kampus ketika perjalanan pulang saya memperhatikan sekeliling saya. Daerah kampus lumayan aman dibanding daerah lain. Tank-tank dan tentara berbayonet tidak tampak disekitar kawasan kampus. Yang ada hanya polisi yang telah mengisi kembali pos jaga mereka seperti hari biasa ketika keadaan normal. Hati saya bertanya, “apakah Mesir sudah benar-benar mulai aman??”.
Alhamdulillah tidak ada pemeriksaan sama sekali ketika perjanan kembali kerumah. Teman disamping saya nyeletuk “kalau kamu malam hari lewat sini kamu udah menjalani 4-5 kali pemeriksaan, ini karena masih siang aja dan diluar jam larangan”.
Sesampai di rumah, sekretariat Keluarga Mahasiswa Jambi (KMJ) Mesir, dan juga posko sementara WNI yang belum dievakuasi, tampak beberapa teman saya sedang menyiapkan barang dan keperluan untuk evakuasi pada gelombang ke-empat besok setelah mendapatkan hak seat mereka yang diurus oleh kekeluargaan.
Pikiran saya berkecamuk, kenapa saya tidak dievakuasi secepatnya saja tanpa memikirkan visa seperti banyak yang terjadi pada gelombang evakuasi sebelumnya. Bukankah Tim Evakuasi telah memberitakan bahwa evakuasi cukup dengan passport dan berkeinginan saja. Bukankah pemerintah kita sudah menjamin kembalinya kita ke negeri Musa ini. Kenapa saya harus repot seperti ini sebelum dievakuasi.
Jujur saja, saya merupakan orang yang tidak ingin repot dalam berurusan. Visa mati dan belum mendapatkan tasdiq akan menimbulkan kendala dikedepannya. Semoga saja jaminan yang dikeluarkan oleh pemerintah kita telah dikaji mendalam dan memiliki pertanggungjawaban. Sehingga ribuan kasus yang sama seperti saya akan ditangani dengan baik dan bertanggungjawab. (7 Februari 2011)
By: Wahyu Mas Saputra, mahasiswa Syari’ah Wal Qanun