Teritorialistik Dwifungsi Al-Azhar
Baru-baru ini belum lekang di ingatan kita peristiwa historis yang melibatkan 2 tokoh sentral dari 2 agama yang paling berpengaruh, Grand Syeikh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thayyib dan Paus Fransiskus, yang menginisiasi penandatanganan dokumen persaudaraan antar umat beragama di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Poin penting dalam piagam tersebut adalah penekanan bahwa agama bukanlah sarana bagi para teroris untuk aksi biadabnya yang menimbulkan penindasan di muka bumi ini. Serta juga beberapa isu global penting lainya, seperti humanisme (kemanusiaan), kemiskinan, dan menumbuhkan kembali kebijaksanaan antar umat beragama.
Sebagai institusi Islam tertua dan terbesar, tidak diragukan bahwa Al-Azhar yang dinahkodai Grand Syeikh Ahmad Thayyib menjadi representasi dari Islam yang kafah. Dengan Al-Azhar wajah Islam tersorot bijak dan santun. Kontruksi berfikir dalam Islam pun didefinisikan dinamis, moderat, kontekstual yang tidak hanya mengandalkan tekstualitas. Karena Islam bagi pemeluknya adalah agama yang relevan untuk setiap keadaan dan zaman. Bukti konkritnya adalah keseriusan Al-Azhar dalam memerangi 2 kutub ekstremisme; radikalisme dan liberalisme sebagai faktor internal kehancuran Islam.
Radikalisme dan liberalisme bisa dibilang antipoda. Jikalau kaum radikal mentafsirkan ayat suci al-Quran secara tekstual, maka kaum liberal menafsirkanya secara permisif (bebas), dan dua-duanya menjadi faktor terbesar kehancuran Islam dari dalam. Melihat pada kejadian-kejadian yang dipromotori 2 kutub ini, maka Al-Azhar menjadi garda depan dalam memberantas pemikiran keliru yang tidak sinkron dengan tujuan Islam itu sendiri. Sebagai contoh yang tak terbantahkan dari pemikiran radikalisme adalah kelompok “ISIS” yang sudah merenggut banyak nyawa di Irak maupun Suriah. Yang lebih kelirunya, mereka mengatasnamakan agama Islam sebagai background untuk memuaskan syahwat kekuasaan dan aksi-aksi biadab yang mereka lakukan.
Problematika yang dihadapi umat Islam tidak hanya terjadi di belahan dunia bagian timur. Di bagian barat, kontruksi pemikiran yang salah terhadap Islam pun berkembang cukup pesat. Katakanlah “Feminisme Liberal”, yang salah satu tokohnya Amina Wadud. Dilatarbelakangi kesalahan dalam menginterpretasikan konteks ayat dalam superioritas dan patriarkisme gender, Wadud merekontruksi dominasi laki-laki dengan segala superioritas dan hegemoninya, serta berfokus pada masalah eksistensi hak-hak dan peran perempuan menurut al-Quran yang dia pahami, baik dalam fungsional dunia maupun penerapan beragama, lebih spesifiknya penempatan perempuan dalam praktik ibadah kolektif yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, siapapun yang kompeten dan kapabel berhak menjadi imam, khatib dan muazin tanpa mempertimbangkan gender.
Membasmi dua pemikiran keliru yang sudah mengakar pada sebagian kalangan umat Islam, Al-Azhar dengan bijak menyapa dan membuka solusi dialog dengan setiap kelompok sekaligus menerangkan kebenaran hakiki sesuai al-Quran dan Sunnah. Di antara perwujudannya dalam ranah regional adalah merealisasikan suasana tenang dan sikap toleran, keseimbangan serta moderat melalui risalah-risalah para ulama dan kader Azhari sebagai tuntunan dan contoh bagi umat. Agar kualitas yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan, serta sanggup menyampaikan Islam secara totalitas kepada umat dan menepis pemikiran yang menggerogoti Islam dari dalam, yang mana hal tersebut bisa menyebabkan para pemeluknya merasa skeptis dengan pemahaman mana yang harus diambil, tentunya Al-Azhar tidak sembarangan dalam memilih kader dan yang pastinya melalui tahap yang sangat selektif, edukatif, dan tidak secara instan. karena di sinilah peran Al-Azhar sebagai antidot bagi racun-racun yang sudah mencemari sebagian pemikiran umat Islam.
Perhatian Al-Azhar bukan hanya terbatas pada umat Islam secara regional, akan tetapi Al-Azhar juga merangkul seluruh umat manusia secara universal demi mewujudkan perdamaian di seluruh penjuru dunia. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, dalam kurun waktu setahun, Imam Besar Al-Azhar telah mengadakan 34 kunjungan luar negeri dari 21 negara dan menegaskan bahwa kaum Muslim dan non-Muslim di belahan dunia manapun adalah bersaudara. Mereka berafiliasi pada peradaban dan komunitas yang sama. Mereka juga telah hidup berdampingan selama berabad-abad dan berkomitmen untuk terus hidup berdampingan di negara-negara yang merdeka dan berdaulat, mewujudkan kesetaraan sesama warga negara dan menghormati kebebasan.
Sejarah mencatat kesediaan dan keberanian Imam Besar dalam membahas berbagai isu multinasional lain yang strategis. Seperti soal kewarganegaraan berdasarkan persamaan hak dan kewajiban, pengakuan hak-hak perempuan Islamophobia dan stereotip anti-Barat, dan lain-lain. Imam Besar Al-Azhar Syeikh Ahmad Thayyib menyeru untuk memegang nilai-nilai perdamaian dan menjunjung tinggi interaksi yang terus menerus, persaudaraan kemanusiaan, hidup bersama, berhikmat pada kebijaksanaan keadilan dan kasih sayang serta membangkitkan rasa beragama sejak belia. Ini bertujuan untuk melindungi generasi mendatang dari cengkeraman pola pikir liberal dan konflik politik yang berlandaskan pemikiran radikal, demi mencari keuntungan secara membabi buta.
Penulis: Fayzar Rofi & Isa Prana H.
Sebagai Juara 1 Lomba Artikel pada KMJ Games 2019