Akar Degradasi Akhlak Seorang Muslim di Era Modern
Problematika, masalah dan ujian yang menerpa kehidupan manusia merupakan ketentuan Tuhan (Sunnatullah). Lantas apa solusi terbaik problematika kehidupan? Jawabannya hanya satu; Islam. Islamlah satu-satunya solusi terbaik dalam memecahkan problematika hidup. Allah berfirman:
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلَامُ
Apa itu Islam? Islam itu ad-din (tuntunan kehidupan).
Di dalam bahasa Arab ad-din diambil dari kalimat dana – yadnu – fahuwa – daanin, yang memiliki arti sesuatu yang dekat. ِِArtinya, ketika seseorang memahami ajaran Islam lalu mengamalkannya, maka ia menjadi lebih dekat kepada Tuhannya. Ketika seseorang menyatakan diri untuk memeluk Islam, namun realitanya jauh dari nilai-nilai Islam, jauh dari Tuhannya, maka ada sesuatu yang dari keislamannya. Karena semua tuntunan dalam Islam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sejak dari diturunkannya sebagai wahyu Ilahi, Islam senantiasa berjalan seiringan sesuai dengan perkembangan zaman. Peninggalan baginda Nabi Muhammad SAW berupa risalah al-Quran yang selalu relevan (sesuai) dengan zaman dan lingkungan, begitu juga dengan sunahnya; baik yang berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya. Dengan dua hal tersebut (al-Quran dan as-Sunnah) Islam menyebarkan risalahnya dengan konsep “rahmatan lil ‘alamin” (rahmat bagi seluruh alam).
Sesuai dengan relevansinya dari masa kemasa, Islam meletakkan aturan-aturan yang tercakup dalam perintah dan larangan. Hanya saja, dalam rekam sejarah Islam selalu saja ada orang-orang yang menodai kesucian ajaran Islam, bahkan sampai ada yang berusaha meghancurkannya, baik dari dalam Islam itu sendiri maupun dari luar Islam, baik sengaja maupun tidak di sengaja. Untuk mencegah hal itu, Allah SWT mempersiapkan janin-janin para pewaris nubuwwah di tiap-tiap masa guna mempertahankan kemurnian ajaran Islam yang hakiki, sehingga Islam terus lestari hingga saat ini.
Namun ironinya di era modern ini, tantangan mayoritas lahir bukan dari luar Islam, melainkan lahir dari kalangan Islam itu sendiri. Mereka mengklaim bahwa merekalah yang paling benar di antara sesamanya, memisahkan diri dari saudara-saudaranya yang lain, lalu membentuk golongan dan kelompok tersendiri untuk mereka dan menganggap yang di luar kelompoknya adalah sesat. Sehingga muncullah problematika baru, adanya saling menyesatkan antara satu kelompok terhadap kelompok yang lain, yang mana sumber utama dari permasalahan itu semua adalah dikarenakan hilangnya akhlak seorang muslim secara individu. Ini menjadi tugas kita semua, tugas para santri dan para ulama yang notabenenya adalah pewaris para nabi. Ulama adalah ruh, akal dan benteng Islam dalam keadaan genting ataupun damai. Mereka memiliki tugas yang sama seperti halnya nabi-nabi terdahulu, menyebarkan Islam sejati yang dibangun atas fondasi akhlak mulia.
Syekh Usamah al-Azhari (Ulama Mesir) pernah mengatakan, “Standarisasi keilmuan seorang muslim yang sesungguhnya adalah akhlak, setiap kali kita berinteraksi dengannya, kita melihat akhlak baginda Rasulullah SAW terpancar darinya.”
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Barang siapa yang melihat Rasulullah, niscaya dia akan gentar melihat wibawanya, namun tatkala duduk bersama Rasulullah, dengan spontanitas dia jatuh cinta kepada Rasulullah.”
Bahkan orang non-muslim saat berkunjung kepada Rasulullah mereka takjub dan berkata, “Saya tidak pernah melihat seseorang yang cinta kepada orang lain, melebihi cintanya sahabat-sahabat Muhammad kepada Muhammad SAW.”
Rasulullah SAW tidak pernah mencaci, tidak pernah memaki, tidak pernah menghakimi apa yang ada di dalam hati orang lain, atau menyebut seseorang jahat bahkan sial, tidak pernah. bahkan selama 23 tahun diuji, diteror, ditindas dan diganggu, tetapi tetap saja hal itu tidak membuat Rasulullah berkata kasar apalagi menyinggung perasaan. Itulah keindahan Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW yang datang membawa rahmat kasih sayang bagi semua makhluk, baik manusia, hewan, ataupun tumbuhan, muslim maupun non-muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sayangilah (makhluk Allah), niscaya kalian akan disayangi oleh yang berada dilangit.”
Namun, menteladali akhlak mulia dan norma-norma luhur seakan hilang seiring dengan berkembangnya zaman. Nilai keislaman seakan pudar, yang mulanya saling mengasihi menjadi saling membenci, hanya disebabkan perbedaan pilihan dan cara pandang, sehingga menyalahi arti dari Islam itu sendiri. Misalnya, seseorang yang memaksakan diri menasehati orang lain di depan umum, baik secara lisan maupun tulisan yang mampu diakses oleh khalayak ramai. Hal itu sama saja dengan membongkar aibnya, bahkan bisa jadi itu adalah hinaan meskipun dibalut dalam bentuk nasehat.
Imam Syafi’i dalam kitab Diwan Imam Syafi’i berkata, “Berilah nasehat kepadaku ketika aku sendiri, jauhilah memberikan nasehat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasehat ditengah keramaian manusia termasuk suatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.”
Hal ini acap kali terjadi di tengah masyarakat, akhir-akhir ini. Menasehati namun menjatuhkan, bahkan sampai ke titik mengkafirkan kepada mereka yang tidak sependapat dengannya. Syaikh Ahmad Thayyib (Imam besar al-Azhar) menegaskan, “Seorang muslim tidak boleh fanatik atas pendapatnya sendiri, dengan menganggap hanya dirinyalah yang benar, sedang orang lain salah.”
Seperti halnya imam mazhab yang tentu memiliki perbedaan dalam berpendapat, namun hal itu tidak menjadikan mereka fanatik terhadap pendapatnya sendiri tanpa menghargai pendapat imam-imam yang lain.
نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اتَّفَقْنَا وَنَتَسَامَحُ فِيْمَا اخْتَلَفْنَا
“Bekerjasama dalam hal apa yang kami sepakati, dan saling bertoleransi saat kita berbeda pandangan.”
Karena perbedaan adalah rahmat (bentuk kasih sayang Allah) agar lahir pribadi yang santun, saling menghormati, saling menghargai. Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
وَاللهِ ، مَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تُؤْذِيَ كَلْبًا وَلَا خِنْزِيْرًا بِغَيْرِ حَقٍّ، فَكَيْفَ تُؤْذِي مُسْلِمًا ؟
“Demi Allah, kau tidak halal menyakiti anjing dan babi tanpa hak, lalu bagaimana mungkin kau menyakiti hati seorang muslim?“
Semestinya semua orang tahu, bahwa derajatnya akan diangkat oleh Allah ketika menganggap dirinya tidaklah lebih baik dari orang lain. Pasti akan tiba masanya, Islam yang dirindukan oleh ummat, Islam yang dihiasi dengan kasih sayang dan bukan caci maki dan ujaran kebencian, Islam yang membawa rahmat bagi sekalian alam, seperti purnama yang menyinari malam. Itulah prinsip moderasi yang ditanamkan al-Azhar kepada santri-santrinya. Tidak sibuk melihat perbedaan, tidak mengkafirkan siapapun selama shalatnya menghadap kiblat, meskipun terjerembab dalam dosa besar, selama ia tidak menghukumi halal atas dosa besar yang ia lakukan. Al-Azhar pulalah yang mengajarkan ciri bahkan perbandingan antar mazhab, agar mengerti bahwa Ad-dinu Wasi’ (Islam itu luas) seluas rahmat Allah yang menaungi seluruh ciptaanNya.
Juara 3 pada lomba penulisan KMJ Games ke VI 2019. Ditulis oleh Raden Irwansyah